Selasa, 13 November 2012

Planless.. (SS)



oleh Zet Meirain T pada 30 September 2012 pukul 12:15 ·
Ini belum ada gue edit. So klo banyak typo mohon maaf yahhh. Ceritanya badai absurd. Rada gak nyambung juga -____- but, enjoy read aja yah all

            ----

Agni mengerjabkan matanya selama beberapa detik, sembari meremas kuat rambut panjangnya yang berantakkan dan perlahan bergerak di balik selimutnya. Gadis manis itu berhenti sesaat dari aktivitas bergerak tak menentunya di balik selimut saat ia merasakan sesuatu yang hangat terasa menyentuh kulit punggungnya dan melingkar sempurna di perutnya. Agni meneguk ludahnya dengan sukar, dan pelan-pelan gadis manis itu memberanikan diri melihat ke balik selimut krem yang membalut tubuhnya saat itu.

            Agni memekik tertahan sambil menahan mulutnya dengan tangan kanan. Kepalanya semakin terasa pusing. Semua berputar dengan cepat. Pesta. Minuman beralkohol. Perasaan sedih. Seseorang yang menyebalkan yang mendekatinya. Kamar. Dan….

            “Oh-my-god,” gumam Agni dan dengan gerakkan cepat ia bangkit dari posisi tidurnya, menyambar seluruh pakaian dan barang-barang miliknya yang berserakkan di lantai kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

            Sementara itu, seseorang yang yang tidur sambil memeluk tubuh mungil Agni sedikit tersentak kaget saat gadis manis itu dengan gerakkan cepat dan tanpa izin bangkit begitu saja dari rengkuhannya. Sosok itu tampak menekan-nekan puncak kepalanya dengan kedua mata –masih– dalam keadaan tertutup rapat.

            “Bisa jelasin sama gue, kenapa kita bisa ada di sini?” suara lembut itu langsung membuat sosok yang tadi masih berbaring di atas kasur terlonjak kaget. cowok itu melirik cepat ke arah pintu kamar mandi dan seketika kedua bola matanya yang berwarna biru laut membulat lebar, melihat seorang gadis cantik dengan pakaian yang yahhh…. Berdiri di hadapannya sambil bersidekap.

            “Lo? Kok lo ada di sini?” cowok itu balik bertanya. Agni tampak menghela napas berat dan dengan langkah menghentak berjalan menuju sofa meraih blezer pendeknya di lantai serta menyambar hight heelsnya yang entah sejak kapan berada di bawa kolong sofa.

            “Seharusnya gue yang tanya sama lo,” suara Agni terdengar tenang. Gadis itu berjalan menuju cermin. Mematut diri sejenak sembari menyanggul asal rambut panjangnya yang bergelombang.

            “Lo gak lagi ngejebak gue kan?” Agni berbalik cepat, matanya menyipit memandang cowok yang masih duduk sambil memeluk selimutnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

            “Seharusnya gue yang nanya sama lo. Lo gak berencana buat perkosa gue kan?” tanya Agni dan menatap cowok berkulit putih itu tepat di manik mata. Cowok itu tampak melotot lebar dan dengan gerakkan kaku melirik ke balik selimutnya.

            Agni terkikik kecil melihat tampang konyol cowok itu. ia menggeleng pelan. Kembali memutar tubuhnya menghadap cermin dan langsung saja membubuhkan bedak dan lipglos tipis di wajah dan bibir mungilnya.

            “Oke!” seru Agni setelah ia selesai mendadani dirinya. Cowok itu kembali mengangkat wajahnya dan menatap Agni intens. Ia meneguk ludahnya dengan gerakkan lambat. Gadis di hadapannya ini benar-benar… errr, cowok itu menggigit bibir bawahnya dan meremas selimut yang masih membalut tubuhnya dengan kuat.

            “Kita anggap aja kejadian ini gak pernah ada. Gue tau, kalau temen-temen, keluarga dan pacar lo sampai tau soal ini, lo pasti bisa habis,” ucap Agni. gadis itu mulai sibuk melilitkan tali sepatunya di betis jenjangnya.

            Cowok itu perlahan bangkit dari posisi duduknya, meraih boxernya yang tergeletak di tepi ranjang dan berjalan pelan menghampiri Agni yang masih sibuk memasang high heelsnya.

            Agni mengangkat wajahnya setelah ia selesai sembari tersenyum manis saat mendapati cowok itu telah berdiri beberapa langkah di hadapannya.

            “Lo serius?” tanya cowok itu menatap Agni ragu.

            “Yeap,” Agni meraih tas tangannya, bersiap-siap beranjak.

            “Lo…. Gak nuntut gue untuk tanggung jawab?” tanya cowok itu lagi. Agni kembali menghentikan langkahnya di ambang pintu dan menoleh ke arah cowok itu lagi.

            “Kalau gue hamil pasti gue minta pertanggung jawaban lo,” jawab Agni dengan ekspresi wajah dingin. Mendadak wajah cowok itu tampak menegang, namun detik kemudian Agni tertawa pelan dan menggeleng kecil.

            “Gue bercanda. Gue gak mungkin hamil. Dan gue gak akan minta apa pun dari lo,” ucap Agni masih dengan seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. Cowok itu tampak tertegun.

            “Oke. selamat ulang tahun, ya? and… thank’s udah ngundang gue,” ucap Agni kemudian. “Setelah ini, gue janji…. Gak bakal muncul di hadapan lo lagi,” lanjut Agni dan dengan langkah tegak ia pun melangkah keluar dari kamar bergaya mini malis itu.

            ---

Agni melangkah gontai memasuki halaman luas rumah bergaya eropa tempat ia tinggal. Sesekali Agni melirik arlogi di pergelangan kirinya dan wajah manis itu seketika tampak dingin. Senyum manisnya beberapa saat lalu entah raip kemana. Agni menghentikan langkahnya di depan pintu rumah saat melihat sebuah nisan putih bertengger manis di sana. Dahi Agni mengerut samar. Kepalanya masih merasa pusing. Ia menggeleng pelan, tak memperdulikan mobil itu dan dengan langkah sempoyongan kembali meneruskan langkahnya.

            “Gue pulaaaaang, anybody hommmmme?” teriak Agni tak karuan saat pintu rumah sudah menganga lebar. Agni kembali mengerjab. Ruangan utama rumah mewahnya tampak begitu gelap. Pelan-pelan Agni pun berjalan menuju tangga.

            Agni kembali menghentikkan langkahnya di depan sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka –yang berada tepat di samping kamar tidurnya–  dan melangkah hati-hati menghampiri kamar tersebut. Agni tersenyum kecut, dan dengan satu hentakkan keras mendorong pintu di hadapannya, membuat seorang pemuda yang saat itu tengah siap menindih seseorang di bawahnya tersentak kaget, dan keduanya dengan cepat menoleh ke arah pintu.

            Keduanya tampak melotot saat melihat Agni berdiri dengan tangan yang ia lipat di depan dada dan sesekali gadis manis itu tampak menguap dan menggaruk tengkuk belakangnya.

            “Huhhhh. Keluarga kita…. Emang udah gak beres ya?” ucap Agni tajam sambil terkikik kecil. Cowok itu tampak dengan sukar meneguk ludahnya dengan gerakkan cepat melompat turun dari atas kasur dan meraih celana jeansnya di sudut sofa.

            “Ag!” Agni menepis kasar tangan cowok itu dan dengan tajam menatap lurus melewati pundak cowok di hadapannya itu.

            “Gue gak tau itu cewek ke berapa yang kakak bawa ke rumah,” ucap Agni dingin dan hendak memutar tubuhnya, namun dengan sigap tangan kekar itu menahan lengan mungil Agni, membuat gadis manis itu tertahan di tempatnya berdiri.

            “Lo gak akan ngerti, Ag,” ucap cowok itu menatap tepat di kedua manik mata Agni. Agni tersentak. Kembali di tepisnya tangan sang kakak yang masih mencengkram lengannya dan mendorong kuat tubuh kekar itu hingga mundur menjauh darinya.

            “Dan kakak juga gak pernah ngerti soal perasaan Agni. Gak pernah!” teriak Agni tepat di wajah sang kakak dan dengan sigap gadis mungil itu berjalan menuju kamarnya. membanting pintu, mendiamkan suara bariton itu yang terus saja menyerukan namanya di balik pintu.

            Agni menangis. Gadis mungil itu merosot di balik pintu sambil memeluk erat kedua lututnya. “Seandainya Mama masih ada di samping Agni…. Agni yakin, Ma, keluarga kita gak akan sehancur ini,” gumam Agni lirih.

            ---

“Agni, kakak bisa jelasin masalah semalam sama kamu,”

            “Mbok, kunci mobil aku mana?” Agni meneguk dengan kasar susu hangatnya dan dengan sigap bangkit dari posisi duduknya.

            “Ini Non!” seru Mbok Min dan menyodorkan sebuah kunci mobil sport pada majikannya itu.

            “Ag! Kamu dengerin Kak Alvin dulu,” Alvin menarik paksa lengan adiknya itu, membuat Agni mau tak mau akhirnya kembali menatapnya.

            Alvin diam sejenak. Di tatapnya lekat manik mata Agni dan tampak dengan susah Alvin tengah mengatur napasnya. “Cewek itu pacar kelima bulan ini. Dia mantan pacar aku sebelumnya juga. Dan…. Dia hamil,” terang Alvin sontak membuat Agni yang tadinya menatap lurus ke bawah kini tampak melotot tajam menatap wajah sang kakak.

            “Aku mau nikahin dia. Tadi malam…. Dia nangis-nangis datang ke rumah. Kamu tau, aku memang paling sayang banget sama dia, dan aku gak bisa ngontrol diri aku, Ag,” lanjut Alvin dan itu membuat Agni merasa kepalanya semakin berputar cepat.

            Mulut Agni tampak bergerak pelan, seakan ingin mengucapkan sesuatu. Namun rasa sesak di dadanya tak mampu membuatnya mengeluarkan sepatah kata pun dan akhirnya sebuah tamparan pun mendarat di pipi putih Alvin. Alvin tersentak kaget, dan memandang wajah adiknya yang saat ini mulai di banjiri airmata dengan perasaan pilu.

            “Terserah. Gue udah gak perduli lagi sama lo,” seru Agni dan dengan sigap ia berlari menuju mobilnya.

            ---

Agni menghentikan mobilnya di parkiran utama gedung kampusnya. Gadis manis itu tidak langsung turun dari dalam mobilnya dan tampak menghempaskan tubuhnya dengan keras di sandaran kursi sambil memijit pelan pelipisnya.

            Agni tersenyum miris. Sesak itu kembali merasuk di dadanya. Tak ada seorang pun yang peduli atas perasaannya. Atas sakit hatinya dan atas seluruh harapan yang selama ini terpatri dalam benaknya.

            Agni mulai sesenggukan. Gadis sempurna yang selama ini di pandang dengan tatapan kagum oleh banyak mata terlihat begitu hancur. Ia merasa seperti gumpalan kertas kotor yang siap di campakkan sejauh mungkin.

            “Gak ada waktu buat menangisi nasib lo, Ag!” gumam Agni dan dengan kasar gadis manis itu menepis sisa air di wajahnya. Ikatan rambutnya ia tarik, membuat rambut panjangnya tergerai indah dan memoleskan lipglos serta membubuhkan bedak di wajah dan bibir mungilnya.

            ---

“Agni!” Agni menoleh saat sebuah suara menyerukan namanya. Ia tersenyum manis, setelah yakin pintu mobilnya telah terkunci ia pun berjalan anggun menghampiri gadis dengan wajah tirus yang berdiri di sambing lobi

            “Lo semalam kemana aja sih? Heran. Lo sama Cakka kompakkan banget ngilangnya. Lo tau? Oik sampai stres nyariin calon suaminya itu,” serbu Ify dan langsung merangkul lengan mungil Agni, lantas keduanya pun berjalan beriringan menelusuri koridor.

            Agni terseyum kecil sembari menggeleng pelan. Namun keduanya menghentikan langkah mereka saat di ujung koridor tampak dua orang yang tengah mereka bicarakan berjalan sambil berangkulan mesra ke arah mereka.

            Ify melirik Agni yang berdiri di sampingnya selama beberapa detik, kemudian kembali melirik sosok yang kini hanya beberapa langlah lagi di hadapannya bergatian. Agni tanpa sadar menghembuskan napas berat dan bersamaan dengan itu ia kembali meneruskan langkahnya hingga membuat bahu Agni dan sosok tersebut bersentuhan. Agni sempat merasakan cowok itu melirik sedikit padanya, namun Agni tak menghiraukan dan terus saja melangkah menuju ruang kelasnya.

            “Gue ngerasa ada yang aneh sama lo berdua deh,” mendadak Agni melambatkan langkahnya dan melirik Ify sekilas.

            “Maksud lo?”

            “Iya. Biasanya tuh, lo sama Cakka pasti ribut mulu kalau ketemu deh. Selalu aja lo berdua ngebahas masalah gak penting soal acara kampus yang di ketua dia dan lo sebagai wakil,” jelas Ify dan menatap lekat-lekat wajah Agni.

            “Ag!” seru Ify kemudian. Agni hanya berdehem kecil dan kini kedua gadis itu mulai berbelok ke arah kanan. “ Lo lagi ada masalah sama si Cakka yah?” tanya Ify hati-hati. Agni mendudukkan terlebih dahulu pantatnya dan kini menatap Ify sambil tersenyum manis.

            “Gak ada kok. aneh deh lo, bukannya seharusnya bagus yah, kalau gue sama Cakka damai? So, lo sama anggota yang lain gak bakal pusing lagi ngatur buat acara pensi ntar,” jelas Agni. Ify hanya mengangguk kecil menanggapi, namun kerutan-kerutan samar masih tercetak jelas di dahi Ify.

            ---
“Hoek… hoek…” Agni mencengkram sudut westafel seerat mungkin. Kepalanya saat pulang dari kampus siang tadi mendadak pusing. Perutnya juga terasa begitu mual. Agni memijit-mijit pelan dahinya dan mendudukkan diri di atas closet sambil meremas rambutnya.

            “Gue kenapa sih?” gumam Agni lirih. perlahan ia bangkit dari posisinya dan dengan hati-hati berjalan keluar dari kamarnya. “Kepala gue pusing banget sih?” Agni masih memijit pelan pelipisnya. Langkahnya mulai sempongan. Kedua tangan mungilnya bergerak lincah mencari pegangan di sekelilingnya. Mendadak Agni merasa pandangannya semakin mengabur, dan saat tubuhnya mulai terhuyung kebelakang Agni merasa sesuatu menahan punggungnya. Merengkuh tubuh mungilnya erat dan mengguncang pelan pipinya saat kedua matanya mulai tertutup rapat.

            ---

Agni membuka matanya perlahan dan seketika ia tampak melotot lebar saat mendapati seseorang tengah duduk di ranjangnya dan menatap wajahnya penuh rasa khawatiran.

            “Lo ngapain disini?” tanya Agni to the point. Cowok itu tampak tersenyum lega dan refleks meraih satu satu tangan Agni dan menggenggamnya erat.

            “Gue tadi mau nyari Alvin. Ada yang mau gue omongi sama dia. Tapi waktu gue masuk, gue lihat lo jalannya semponyongan gitu. So, gue ngikuti lo sampai dapur dan lo langsung pingsan,” jelas cowok itu.

 Agni tampak mengerutkan dahinya dan kini cepat-cepat bangkit dari posisi tidurnya.

“Oh!” seru Agni dan menarik jemarinya dari genggaman cowok itu.

“Lo sakit?” tanyanya yang kini dengan wajah kembali terlihat cemas. Agni tampak memutar bola matanya dan menatap sosok di hadapannya dengan mata menyipit.

“Gak kok. udah ah, lo mending sekarang keluar dari kamar gue. Gue gak mau nanti Alvin lihat lo di sini terus dia mikir macem-macem,” ucap Agni dan dengan sigap ia menarik tubuh tegap sosok tersebut hinggap bangkit berdiri.

“Ag!” seru cowok itu saat ia sudah berdiri di ambang pintu. Agni menghentikan langkahnya yang hendak berbalik menuju tempat tidur kembali menoleh. “Lo baik-baik ajakan?” tanya cowok itu dan kini menatap Agni tepat di manik mata.

Agni diam sejenak, kemudian ia tersenyum manis. “Maksud lo… apa gue masih baik-baik aja setelah kejadian beberapa minggu yang lalu itu, gitu?” tanya Agni yang kini berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Cowok itu mengangguk pelan.

Agni terkikik pelan dan perlahan melangkah mendekati cowok yang kini menatapnya lebih intens.

“Lo lihat. Gue gak kayak orang yang frustasi kan?” tanya Agni. ia menggeleng pelan sambil menepuk-nepuk dada cowok di hadapannya itu. “Gue gak selemah itulah, Kka. Gue bukan tipe cewek cengeng,” ucap Agni.

“Tapi buat sebagian cewek, itu hal yang paling menakutkan buat mereka, Ag,”

Agni tertawa. Jenis tawa yang jujur membuat Cakka miris mendengarnya. Cewek itu berjalan menjauhi Cakka dan menjatuhkan dirinya di atas kasur.

“Justru…. Gue pengen ada sesuatu yang hidup disini,” ucap Agni santai sambil mengelus pelan perutnya, sontak membuat kedua mata Cakka melotot lebar. Agni kembali tertawa.

“Lo tenaaaang. Gue gak akan nyusahin lo kalau hal itu beneran terjadi. Gue Cuma pengen ngerasain posisi nyokap gue aja. Gue pengen tau rasanya jadi cewek yang ngandung di luar nikah itu seperti apa sih rasanya,” terang Agni dan kini pandangannya tampak menerawang. Cakka tertegun. Ia menatap lekat wajah Agni yang kini mulai tampak berubah. Gadis manis itu mulai mengerjab.

“Ahhh. Sorry, gue gak maksud ngomong ngaco sama lo. Oke, sebaiknya lo keluar sekarang dari kamar gue!” ucap Agni sesaat kemudian dan dengan sigap kembali mendorong tubuh kekar Cakka sampai keluar dari kamarnya, kemudian dengan bantingan keras Agni menutup rapat pintu kamarnya.

---

“Usia kandungan kamu sudah memasuki minggu ke-empat. Kamu harus jaga kesehatan sebaik mungkin, jangan sampai terlalu capek. Kandungan kamu masih sangat rentan,”

            “Heh… gue hamil?” gumam Agni sambil tertawa lirih. airmata itu terus saja mengalir di pipi chubbynya. “Gue….” Agni menghentikan langkahnya dan menatap lurus seluet jingga di hadapannya dengan tatapan nanar. Aroma pantai mendadak membuat perasaannya semakin terasa sesak.

            Agni jatuh terduduk di atas pasir sembari memeluk erat kedua lututnya.

            “Maaa, Agni kangen Mamaaa. Agni takut Maaa. Agni mau Mama ada disini. Nemenin Agni,”  bisik Agni lirih dan semakin erat ia memeluk kedua lututnya.

            ---

Tiga bulan kemudian….

            “Gue ngerasa ada yang beda deh sama lo?” Ify menatap Agni lekat. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki bergantian, membuat beberapa siswa yang saat itu berada di dalam kelas menoleh kearah meraka, termasuk juga  Cakka dan Oik yang saat itu tengah asik bermesraan di pojokkan kelas.

            Agni mulai terlihat gugup dan cepat-cepat mendudukkan diri di bangkunya.

            “Kok tumben banget lo pakai baju longgar begitu? Lo bilang baju model beginian tuh bukan style lo banget deh, tapi sekarang kok?” tanya Ify lagi, kali ini dengan nada suara lebih ringan. Agni hanya tersenyum canggung dan menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal.

            “Gue lagi pengen ganti style,” jawab Agni seadanya. ify tampak menyipitkan kedua matanya menatap sahabatnya itu ragu.

            ---

Cakka memperhatikan Agni dari ujung rambut hingga ujung kepala bergantiaan –sama seperti yang Ify lakukan pagi tadi–, menatap lekat gadis manis yang tengah asik membaca sebuah buku di salah satu lorong perpustakaan yang kebetulan sunyi lekat. Cakka melirik plat yang tergantung di atas lorong, di antara rak-rak yang berdiri kokoh di samping kanan dan kirinya.

            “Kehamilan?” gumam Cakka dan kini memandang sosok Agni yang berdiri jauh di hadapannya dengan dahi mengerut.

            “Gue baru tau, kalau anak seni juga suka baca buku soal beginian,”

            Agni tersentak kaget, saat mendengar sebuah suara menyerang pendengarannya. Ia refleks mundur membuat punggungnya tanpa sengaja menabrak rak di belakangnya. Agni tampak panik, dan pandangannya tak beralih menatap sosok di hadapannya melainkan pada perutnya yang kini terasa sedikit buncit di balik kaos gombor yang saat itu ia elus dengan penuh perasaan.

            Agni terengah. Napasnya memburu sangkin takutnya terjadi sesuatu dengan calon anaknya. Dengan sigap Agni mengangkat wajahnya dan menatap garang sosok yang saat ini tengah berdiri dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit di artikan tajam.

            “Lo gak bisa apa kalau nongol itu gak tiba-tiba kayak gitu, huh? Lo nyaris aja buat anak gu…. “ Agni tak melanjutkan lagi kalimatnya, saat menyadari wajah Cakka yang saat ini berdiri di hadapannya dengan jelas. Agni meneguk ludahnya dengan sukar. Kembali ia letakkan buku yang baru beberapa menit ia baca dan memutar tubuhnya hendak beranjak dari tempatnya berdiri saat ini.

            “Tunggu!” dengan sigap Cakka meraih lengan mungil Agni. “Anak gue? Maksud lo, anak lo?” tanya Cakka menatap Agni dengan sorot mata kebingunagan. Agni mulai terlihat gugup. Bola matanya bergerak cepat dan dengan kasar menepis cengkeraman Cakka di lengannya.

            “Maksud gue itu…. Tadi gue terlalu serius ngebaca jadi latah deh sampai keceplosan nyebut kata ‘anak’,” Agni beralasan.

            Cakka semakin lekat menatap wajah Agni dan kini berjalan semakin mendekati tubuh mungil itu. Agni merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Untuk pertama kalinya Agni merasakan tatapan Cakka begitu menusuk. Satu tangan cowok itu bergerak pelan dan mengarah keperut Agni. kedua mata boneka Agni tampak melotot lebar dan sebelum tangan lebar itu berhasil menyentuh perutnya dengan sigap Agni bergeser dari posisi berdirinya dan langsung berjalan cepat menuju pintu keluar.

            ---

“Gak. Gue gak mungkin bilang soal ini sama Cakka. gak mungkin. Dia sama Oik bakal tunangan, dan gue gak mau ngancuri semua kebahagian mereka,” Agni berjalan cepat menelusuri koridor dan melangkah tergesa-gesa menuju parkiran.

            “Gue udah janji, apa pun yang terjadi gue gak akan nuntut Cakka buat tanggung jawab. Gak akan,” tangis Agni semakin menjadi. Langkahnya semakin lebar menuju parkiran.

            Tiiiiin

            Agni menghentikan langkahnya sejenak dan dengan cepat menoleh. Seketika kedua mata beningnya yang masih terlihat basah membulat lebar. Sebuah motor melaju cepat ke arahnya.

            Buuuk

            “Agniiii!” Cakka berlari cepat mengahimpir Agni saat melihat tubuh mungil itu berguling pelan di aspal.  “Agni?” seru Cakka setelah ia memangku kepala Agni di pahanya. Agni tampak mengerjap pelan sambil meremas kuat lengan kemeja Cakka. ia mengangkat sedikit kepalanya dan tangisnya seketika tumpah saat melihat cairan merah pekat menjalar di kakinya.

            “Anak gue… Cakka anak gue,” rancu Agni sambil mengguncang pelan lengan Cakka. Cakka tampak melotot kaget dan ikut menatap ke arah kaki Agni. “Cakka tolong anak gue… jangan biarin dia mati… gue mohon… Cakka…” suara Agni terdengar lemah. Kedua mata Cakka terbelalak lebar. Napasnya tercekat melihat darah segar yang mengalir tanpa henti dari kaki Agni.

            ---

Agni meneguk dengan kasar apel martininya berkali-kali. Pandangannya menatap lurus. Tajam. Ke arah panggung kecil di hadapannya. Agni tersenyum miris. Cakka begitu sempurna hidupnya. Kadang Agni merasa iri dengan laki-laki itu. keluarga yang utuh. Bahagia. Dan selalu menerima dia apa adanya. Terlebih Cakka memeliki Oik, calon tunangan yang sepertinya sangat amat mencintainya.

            Hari ini adalah hari ulang tahun Cakka yang ke 19. Sebenarnya Agni malas datang ke tempat ini, mengingat Cakka itu cowok paling ia benci sepanjang hidupnya. Kenapa? Cakka sendiri gak pernah tau, apa alasan pasti cewek idola kampusnya itu membencinya. Cuma satu alasan Agni kenapa dia sangat tidak menyukai Cakka. yah, itu karena menurut Agni kehidupan Cakka terlalu sempurna. Terlalu bahagia tanpa ada seorang pun yang mungusiknya.

            Agni mulai gerah. Kalau bukan karena Ify sahabat dekatnya yang notabennenya adalah pacar Ray sahabat Cakka Agni mah ogah banget harus hadir ke tempat ini.

            Agni berjalan gontai menuju lantai dua. Kepalanya mendadak pusing dan dia merasa mual berlama-lama mendengar suara dentuman cukup keras dari tempat pesta. Agni menyipitkan matanya mengamati ruangan di sekelilingnya. Agni mengerjabkan matanya selama beberapa kali dan dengan sempoyongan berjalan menuju salah satu kamar.

            ::

Agni bangkit dari posisi tidurnya saat mendengar suara pintu terbuka dan kembali tertutup setelah terdengar suara pintu di kunci dari dalam.

            “Lo?” seru Agni dan bangkit dengan tubuh sempoyongan. Cakka, tampak kaget mendapati seseorang berada di dalam kamarnya. Cakka pun tampak memijit pelan kepalanya yang kini mulai terasa pusing. Sial. Dia paling sensitif sama yang namanya alkohol. Dan pasti tadi temen-temennya pada ngerjain nih.

            “Lo ngapain di sini?” tanya Cakka. suaranya mulai terdengar tak karuan.

            Agni terlihat tertawa dan kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Cakka membiarkannya. Udara mendadak gerah dan perlahan Cakka melepaskan dasi serta kemeja yang saat itu ia kenakan.

            Cakka mendudukkan diri di tepi ranjang. Di tatapnya Agni yang masih dalam posisi berbaring lekat-lekat. Gadis cantik itu mendudukkan tubuhnya dengan gerakkan cepat dan dengan gerakkan cepat pula mengecup kilat bibir pucat Cakka yang terasa dingin.

            Kedua mata Cakka membulat lebar. Agni terbatuk dan dengan kasar di dorongnya tubuh Cakka hingga cowok itu tersungkur di lantai.

            “Gue benci sama lo,” gumam Agni yang kini mulai mengatupkan kedua matanya. Cakka meringis pelan. Ia bangkit perlahan dan menatap Agni yang tengah menutup matanya dengan satu tangan dengan dahi mengerut.

            “Huhhh. Lo cowok beruntung!” seru Agni dan kali ini ia bangkit berdiri membuatnya dan Cakka berdiri berhadapan.

            Agni tersenyum manis, dan lekat-lekat menatap wajah Cakka. “Gue pengen banget berada di posisi lo,” ucap Agni lagi, kali ini ekspresi wajahnya terlihat begitu serius.

            “Hahaha. Lo lucu banget sih, katanya benci sama gue. Terus kenapa pengen di posisi gue?” Cakka tertawa aneh sambil menguncang pelan pundak Agni.

            “Karena lo punya segalanya?” jawab Agni. cakka menghentikan aksinya dan kini menatap kedua mata Agni serius. “Lo punya orang tua yang begitu peduli sama lo, punya teman-teman yang sayang sama lo, dan pacar yang begitu mencintai lo,”terang Agni. kedua matanya tampak berkaca.

            “Lo punya orang-orang yang peduli dan sayang sama lo, gak kayak gue,” Agni tertawa hambar. Perlahan genggaman Cakka di pundak Agni terlepas.

            Hening. Perlahan Agni mendekat ke arah Cakka, menghilangkan jarak di antara keduanya. Cakka mengangkat wajahnya yang semula  menatap lantai dan kini menatap tepat manik mata Cakka.

            “Dan gak ada seorang pun yang mau perduli sama gue,” ucap Agni lirih. “Cakka,” Cakka merasakan sesuatu yang beda saat mendengar Agni untuk pertama kali memanggil namanya dengan lembut. Gadis manis itu perlahan meraih jemari Cakka dan menggenggamnya erat.

            “Lo maukan, untuk malam ini aja, temenin gue?” Agni menatap wajah Cakka penuh harap. Cakka tampak diam sejenak, kemudian ia mengangguk kecil. “Gue janji. Apa pun yang terjadi malam ini di antara kita, gue gak bakal kasih tau siapa pun. Gue gak akan hancuri kebahagian lo. Lo tenang aja. Gue janji,” ucap Agni tulus.

            Cakka tertegun. Perlahan ia menggerakkan tangan kanannya dan mengelus lembut pipi kanan Agni. pelan-pelan ia mendekatkan wajahnya pada Agni, membuat napas keduanya saling beradu.

            “Boleh?” suara Cakka terdengar berbisik. Agni mengatupkan kedua matanya rapat dan mengangguk kecil. Bersamaan dengan itu Agni merasakan sesuatu yang hangat menempel di kulit bibirnya. Lembut. Dan menghanyutkan.

            Ciuman itu terasa semakin menuntut, saat Cakka mulai bergerak dengan kasar, membuat Agni meringis kecil beberapa kali ketika ia merasakan gigitan kecil di bibir bawahnya.

            “Auuuh!” pekik Agni tertahan, saat tiba-tiba saja Cakka menjatuhkan tubuh mereka ke atas kasur. Agni menahan dada Cakka yang berada di atasnya dan kembali menatap wajah itu lekat-lekat.

            “Kalau gue duluan ketemu lo, pasti gue bakal jatuh cinta setengah mati sama lo,” ucap Cakka sambil mengelus pelan kedua pipi Agni dan detik kemudian kembali mendarat kecupan-kecupannya di wajah Agni.


            ::


“Maafin aku, Ik. Aku tau aku salah, tapi aku gak bisa biarin Agni sendirian dalam keadaan seperti ini,” samar-samar Agni mendengar suara dari luar kamarnya. perlahan Agni membuka matanya dan ia tampak mengerut saat menyadari ruangan tempat ia berbaring sekarang penuh dengan nuansa putih.

            “Agni? kamu sudah sadar?” mata Agni membuka dengan cepat, dan menatap pria paruhbaya yang saat ini berdiri di samping ranjangnya dengan pandangan tak percaya.

            “Pa –pa?” suara Agni masih terdengar lemah. Pria itu tampak ingin menangis. Di raihnya salah satu jemari Agni dan di genggamnya dengan erat.

            “Maafin Papa sayang. Maafin Papa,” gumam pria itu sambil menciumin telapak tangan Agni. Agni melirik ke arah Alvin yang saat itu berdiri di samping Papa, pemuda itu tampak tersenyum manis sambil mengelus lembut puncak kepala adik tercintanya itu.

            Detik kemudian Agni tersadar, dan dengan cepat ia melingkarkan kedua tangannya di atas perut. Mendadak airmata mengalir di pipi chubbynya, membuat sang Papa dan juga Alvin menatap Agni khawatir.

            “Agni? kamu kenapa sayang?” tanya sang Papa panik saat melihat tangis putrinya semakin mejadi.

            “Agni udah sadar?” seru sebuah suara dari ambang pintu, di susul langkah-langkah kaki yang mendekat ke sisi tempat tidur Agni.

            Agni semakin terisak. Cakka dan kedua orang tuanya yang kini sudah berdiri di samping Agni menatap Agni cemas .

            “Kamu kenapa sayang?” suara keibuan itu terdengar lembut di telingat Agni.

            “Anak aku. Dia baik-baik ajakan?” tanya Agni pelan. Tangisnya mulai mereda karena masih ia rasakan kehidupan kecil di dalam perutnya yang masih terasa buncit di balik daster yang ia kenakan.

            Semua menghela napas lega bersamaan sambil tertawa pelan dan menggeleng bersamaan.

            “Gak papa. Dia baik-baik aja. Untung benturannya gak terlalu keras, dan pendarahannya juga gak begitu hebat,” terang Alvin. Agni tampak mengatupkan kedua matanya rapat. Ia tersenyum sambil memeluk erat perutnya.

            “Syukurlah,” gumam Agni.

            Agni kembali membuka matanya saat merasakan sebuah sentuhan dan menggenggam erat jemarinya. Seketika kedua mata bening Agni tampak membulat lebar.

            “Ca –kka?” pekik Agni tertahan. Cakka tersenyum manis sambil berjongkok dan mengecup lembut dahi Agni. Agi terkesiap kaget.

            “Seharusnya lo jujur sama gue, Ag. Seharusnya lo bilang dari awal kalau lo ngadung anak gue,” ucap Cakka dan kini menatap lekat manik mata Agni. Agni tampak menelan ludahnya dengan sukar dan memandang sekelilingnya takut-takut.

            “Pa… Kak Al,” gumam Agni. Cakka sedikit memundurkan tubuhnya, memberikan ruang untuk kedua pria itu berdiri di samping Agni.

            “Maafin Agni, Pa, Agni udah buat Papa malu. Agni bukan anak yang baik buat Papa,” ucap Agni mulai terisak. Sang Papa kembali menggenggam kembali jemari Agni dan mengelus puncak kepala putrinya itu penuh sayang.

            “Papa udah maafin kamu, sayang. papa yang seharunya minta maaf. Seandanya Papa bisa bersikap dewasa, seandainya Papa bisa menerima kepergian Mama kamu dengan iklas. Semua pasti gak akan terjadi seperti ini,” ucap sang papa dan menatap mata Agni menenangkan.

            Agni diam sejenak. Ia tersenyum menatap sang Papa, meraih jemarinya dan juga mengecupnya lembut. “Agni juga udah maafin Papa,” ucap Agni tulus.

            ---

“Kamu harus rajin minum vitamin ya, sayang!” Agni tersenyum canggung, menatap wanita anggun di hadapannya sungkan. Setelah keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu, orangtua Cakka meminta agar Agni tinggal bersama mereka sampai tiba acara pernikahan mereka bulan depan. Mamanya Cakka khawatir meninggalkan Agni di rumahnya sendirian. Yah, Papanya baru saja kembali ke Singapur untuk mengurus beberapa perusahaannya di sana, dan akan kembali bulan depan. Sementara Alvin juga sudah mulai sibuk mengurus perusahaan mereka yang ada disini.

            “Makasih tante,” ucap Agni canggung. Wanita cantik itu tampak tersenyum dan mengelus lembut rambut panjang Agni.

            “panggilnya Mama dong sayang,” ucap wanita itu lagi. Agni tertegun. Di tatapnya lekat wajah wanita anggun yang duduk di sampaingnya itu dengan perasaan tak menentu.

            Agni merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Sudah lama sekali ia kehilangan sosok seorang ibu, dan sekarang, ada seorang wanita cantik dan penuh kelembutan menawarkan diri untuk menjadi Mamanya. Mendadak mata Agni terasa perih. Ia tertawa pelan sambil menepis setitik air yang menggantung di sudut matanya.

            “Agni itu jahat banget tante. Agni udah ngacuri hubungan Cakka sama Oik. Agni gak pantes ngedapetin kebaikan tante,” ucap Agni pelan. Lia, mama Cakka tersenyum dan menarik tubuh mungil Agni dalam dekapnya.

            “Hussst. Kamu gak boleh bicara gitu. Kamu tau sayang, Cakka dan Oik itu sebenarnya di jodohkan. Cakka itu gak pernah menyayangi Oik lebih dari sekedar teman. Dia terima perjodohan ini karena dia gak mau buat keluarnya malu,” terang Lia. Perlahan Agni mengangkat wajahnya dan menatap wajah Lia dengan mata berkaca.

            “Kamu gak usah khawatir soal Oik sayang. kami sudah bicara, dan dia terima soal keputusan ini. dan… Mama sama papa juga udah gak sabar nunggu si dedeknya lahir,” jelas Lia sambil mengelus lembut perut Agni yang kini semakin buncit.

            Agni tersenyum lega. “Makasih…. Ma,” gumam Agni dan berhambur memeluk Lia dengan erat.

            ---

“Saya terima nikah dan waninya Agni Nurisa binti Wijaya, dengan perhiasan tersebut di bayar tunai..”

            “Sah?”

            “SAAHHH!”

            ---

“Maafin gue yah?” Cakka menghentikan gerakkan tangannya yang sibuk melepas kancing kemejanya dan melirik Agni yang saat itu tengah duduk di depan meja rias sambil melepas beberapa perhiasannya dengan dahi mengerut.

            “Maaf untuk?” tanya Cakka dan kini sudah berdiri tepat di belakang Agni sambil meremas pelan pundak gadisnya itu. Agni menengadah, menatap pantulan dirinya dan Cakka dalam cermin sembari tersenyum.

            “Lo pasti kesel sama gue kan, Kka? Karena gue, lo jadi gak bebas lagi,” ucap Agni. Cakka tertawa pelan. Ia berjalan memutari kursi tempat Agni duduk dan kini berjongkok di hadapan gadisnya itu.

            “Ag, gue sayang sama lo. Terlepas dari peristiwa itu, gue benar-bener ngerasa gue itu butuh lo di samping gue,” Cakka meremas kuat jemari Agni. “Gue takut banget waktu ngelihat darah ngalir di kaki lo. Gue takut waktu itu lo kenapa-napa. Gue takut kehilangan lo, dan juga anak kita,” lanjut Cakka dan mengecup lama punggung tangan Agni.

            “Lo gak marah sama gue?” tanya Agni hati-hati. Cakka kembali mengangkat wajahnya dan kini mengelus lembut pipi Agni.

            “Gue gak akan pernah marah sama lo, Ag. Lo gak ada salah apa pun sama gue,” ucap Cakka tulus. Agni pun tampak tersenyum lega dan dengan gerakkan cepat berhambur memeluk tubuh kekar Cakka.

            “Makasih ya, Kka. Makasih banget. Karena lo, gue bisa ngerasain gimana bahagianya punya orang-orang yang peduli sama gue,” bisik Agni dalam dekapan Cakka.

            Cakka tersenyum manis. semakin ia eratkan pelukkannya dan di kecupnya hangat puncak kepala Agni.



_FIN_

Yeeee. Sankyu yg udah mau baca, like plus comen. Ceritanya emang absurd parah. Gaje lagi. Hehehe. Harap maklum yahhhh :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar