Selasa, 13 November 2012

about you ( SS )

oleh Zet Meirain T pada 22 September 2012 pukul 15:11 ·
“Lo itu manusia paling menyebalkan yang gue kenal. Dan sumpah demi langit dan bumi gue berharap lo menghilang dari hadapan gue kalau bisa dari muka bumi sekalian!!!”

            ---

“Gue… gue… bakal kabulin…. Permintaan lo…” suaranya tercekat. Napasnya terdengar putus-putus. Jemarinya yang terasa dingin menggenggam erat jemari lentikku. Sesuatu terasa menyayat relung hatiku. Kepala ku mendadak pusing saat melihat begitu banyak cairan merah pekat yang keluar dari mulutnya.

            “Cakka, please, lo jangan ngomong macem-macem. Lo tahan!” rancuku semakin menguatkan pelukkanku di tubuh kekar Cakka yang mulai menggigil. Cakka menggeleng lemah, sambil tangan kanannya bergerak pelan dan mengelus lembut pipi kananku. Ia tersenyum manis. sebuah senyuman yang baru pertama kali ia perlihatkan dan jujur membuat perasaanku menjadi tak menentu.

            “Gak usah… gue udah baikkan kok,” ucapnya terbata. Tangannya semakin terasa dingin dan perlahan terkulai lemas. Mata hitamnya pun pelan-pelan mengatup rapat.

            “Cakkaaaa. Cakkaaaa bangun Cakkaaa,”

            ---
“Cakkaaaaa. Lo apa-apaan sih. Lo tau gak , gue udah capek nempelin brosur ini dari lantai 3 sampai sini, dan lo dengan seenak jidat malah nyabutin gitu aja. Lo itu punya perasaan gak sih?” aku berteriak nyaring tepat di depan wajah Cakka. Pemuda yang paling di gilai seluruh teman satu sekolah dan yang pasti sangat aku benci sepanjang masa SMAku.

            Cowok super nyebelin itu tertawa puas sambil mengibaskan brosur di tangannya dan tanpa rasa bersalah melenggang dengan santai meninggalkanku yang masih terlihat kesal.

            “Cakkaaaaa!” Aku menggeram sembari menatap punggung Cakka yang semakin menjauh dengan tatapan kesal.

            ::

“Cakka ikut pemilihan ketua OSIS!” seru Ify dan Nova sembari menghempaskan beberapa brosur di atas mejaku. Ku raih lembaran-lembaran kertas itu dan menatapnya dengan mata terbelalak.

            Sialan. Kemarin cowok itu bilang tidak berminat dengan acara beginian. Sekarang, setelah aku menyebar brosur tanpa mempersiapkan progja dan beberapa materi untuk orasi, cowok sialan itu malah sudah menyebarkan brosur lengkap dengan progja-progja yang akan ia jalankan setahun kedepan.

            “Errrgh. Si Cakka maunya apaan sih!” seruku kesal dan dengan penuh emosi bangkit dari posisi dudukku dan segera saja berlari menuju lapangan indor.

            ::
“Weiitts, apaan nih !” Cakka berseru dengan gayanya yang selengekan saat beberapa lembar brosur yang ku lempar mendarat di wajahnya. Aku berdecis pelan sambil melipat kedua tanganku di depan dada dan menatapnya tajam.

            “Lo udah curang. Lo gak fair kalau begini caranya. Lo harus berperang dengan cara sportif dong,” aku berseru marah sembari menunjuk kasar wajah Cakka. Cowok nyebelin dan kedua sahabatnya tampak tertawa dan memandangku seolah meremehkan.

            “Hahaha. Kalau lo udah ngerasa hebat, seharusnya lo nyantai aja dong ngadepin bocah amatir kayak gue,”ucap Cakka masih dengan nada suara meremehkan.

            ::

“Cowok nyebelin. Kenapa coba di muka bumi ini ada sih anak kayak dia nyebelinnya itu!” aku mendumel tak karuan sambil mengoes sepedaku menelusuri perkomplekan sekolah. Seminggu ini tingkat kebeteanku meningkat drastis gara-gara si cowok tengik itu. selalu saja dia melakukan sesuatu yang benar-benar sukses membuat emosiku meluap tak karuan.

            Tiiiiiin.

            Aku terlonjak kaget, saat lengkingan klakson tiba-tiba saja menyerang pendengaranku. Belum siap aku menghentikan laju sepedaku sebuah mobil sport dengan seenaknya dan tanpa perasaan melaju dengan santainya dan menyerempet ban belakang sepedaku.

            “HEYYYYY!” teriakku berang ketika tubuhku terhuyung dan terjerembab di aspal. Gila, ini orang gak ada perasaan banget apa sih, sengaja nyerempet orang begitu.

            “Lo baru belajar naik sepeda yah?” 

            Ku angkat kepalaku secepat mungkin dan seketika aku melotot garang saat melihat cowok super nyebelin itu kini sudah berdiri di hadapanku sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan tertawa pelan.

            “Dasar cowok gila. Lo mau bunuh gue, huh?” seruku. Bukannya meminta maaf, cowok sialan itu malah terkikik kayak kutil anak kelaparan. “Ihhh, emang gila lo yah,” ucapku dan berusaha bangkit dari posisi jatuh(?)ku.

            “Auuuh!” ringisku pelan. Buseeet, sakit banget ini kaki. Keluhku dalam hati dan seketika mata beningku melotot lebar saat darah segar mengalir dari lutut kananku. Detik kemudian ku lihat wajah super nyebelin itu mendadak panik dan langsung berjongkok untuk melihat lukaku.

            “Lo gak papa?” tanyanya yang mendadak cemas membuat dahiku tampak mengerut.
            “Masih nanya lagi lo. Liat noh!” seruku geram dan menyodorkan lututku tepat di depan wajahnya.

            “Sini, gue anterin lo pulang deh,” ucapnya dan tanpa menunggu persetujuan dariku langsung saja ia membopongku menuju mobil sportnya.

            ::

“Lo tunggu sebentar, gue ambilin obat merah dulu di dalam,” ucapnya dan dengan sigap ia berlari menuju salah satu kamar. Ku edarkan pandanganku keseluruh penjuru ruangan. Rumahnya cukup besar, dan terlihat sepi.

            “Sini!” aku terlonjak kaget saat tiba-tiba saja Cakka menarik kakiku dan meletakkannya di atas meja.

            “Lo emang sodaranya kunti yah, datang suka tiba-tiba. terus ini… narik kaki gue gak berperasaan banget. Tau gak lo ini sakitnya triple buanget,” ocehku menatap Cakka kesal. Cowok nyebelin itu hanya tersenyum simpul sambil menggeleng kecil dan mulai sibuk membersihkan luka di kakiku.

            Aku diam sejenak. Memandang wajah Cakka yang saat itu terlihat serius lekat-lekat. Aku baru sadar, ternyata cowok super tengil ini begitu tampan dan ternyata memiliki sisi baik juga.

            “Gue ganteng ya?” tanyanya masih fokus dengan luka di kakiku. Aku tampak gelagapan sambil mengalihkan perhatianku ke arah lain dan menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal sama sekali.

            “Iggh, geer banget lo,” gumamku seadaanya. Ia hanya terkikik sambil meniup-niup lukaku dan menempelkan plaster di sana.

            Kemudian ia mengangkat wajahnya dan di saat yang bersamaan aku pun tengah memandang tepat wajahnya. Gawat. Sedikit pun aku tak lagi bisa bergerak. Pandangannya seakan mengunciku. Sebuah seringai terlihat jelas di sudut bibirnya. Perlahan ku rasakan tubuhnya bergerak maju mendekat ke arahku dan satu tanganya seperti menahan punggung belakangku.

            Ku teguk ludah dengan sukar dan entah bagaimana aku malah memilih mengatupkan kedua mataku serapat mungkin sambil berusaha memundurkan badanku. Namun mustahil, karena kini satu tangan Cakka yang lain sudah berada di pipiku dan saat itu kurasaan sesuatu yang hangat menyentuh kulit bibirku.

            ::

“Agni, lo harus ke mading sekarang! Ayo cepatan!” seru Nova dan Ify dan dengan sigap kedua sahabatku itu menarik lenganku begitu saja.

            “Apaan sih?” tanya ku bingung saat langkah-langkah Nova dan Ify terasa semakin cepat.

            “Lo lihat!” seru Ify sambil menunjuk ke arah mading saat kami tiba di tengah kerumunan orang ramai. Perlahan ku angkat wajahku dan menyelundup masuk untuk melihat dengan jelas apa yang tertempel di sana. Seketika bola mataku membulat lebar, mataku mendadak perih dan dengan emosi yang meluap ku tari foto-foto sialan itu dari papan mading dengan sekali sentakkan.

            ::

“Kamu di diskualifikasi. Dan ini, surat skorsing kamu. perbuatan kamu itu sangat memalukan sekali Agni. dan sebagai calon ketua OSIS tidak seharusnya kamu berbuat seperti itu,” ucap Bu Zahra selaku kepala sekolah sukses membuat perasaanku hancur. Aku merasa begitu rendah karena di angkap telah sengaja melakukan perbuatan itu.
            “Sekarang kamu keluar,” seru bu Zahra dingin. Aku hanya mampu menunduk dan dengan langkah gontai keluar dari ruangan kepala sekolah.

            ---

Plakk. Satu buah tamparan bendarat di pipi putih Cakka. Dengan tatapan membunuh ku tantang kedua mata hitam cowok super nyebelin di hadapanku ini.

            “Lo itu manusia paling menyebalkan yang gue kenal. Dan sumpah demi langit dan bumi gue berharap lo menghilang dari hadapan gue kalau bisa dari muka bumi sekalian!!!”teriak ku tepat di depan wajah Cakka. Kemarahanku sudah mencapai ubun-ubun. Cowok ini sudah sangat keterlaluan.

            “Gue terima ya, Kka, lo usilin selama ini. Bahkan lo nyakitin gue sekali pun gue terima itu. tapi cara lo kali ini udah keterlaluan. Lo udah mempermaluin gue, dan lo udah ngejatuhin harga diri gue. Lo udah buat gue kayak sampah. Lo jahat banget sih, Kka,” ucapku yang mulai terisak sambil memukul sekuat mungkin dada bidang Cakka. Ku lihat ia sedikit meringis, tapi tidak sedikit pun ku perdulikan dan semakin gencar aku manyerangnya.

            “Gue minta maaf, Ag. Gue minta maaf,” ia berusaha menahan pukulanku dan dengan sigap memutar tubuhku dan memeluknya dari belakang. Aku berusaha memberontak, namun ia semakin erat melingkarkan kedua lengannya di dadaku.

            “Gue benci sama looo. Gue gak tau gue ada salah apa sama lo. Lo tega banget sih sama gueeee,” aku merancu sambil terus memukul lengan kekar Cakka dan saat itu kurasakan kecupan yang terasa hangat mendarat di puncak kepalaku.

            ::

“Ag, gue gak bakal pulang sebelum lo keluar. Gue Cuma mau minta maaf sama lo, Ag. Gue tau gue salah. Gue udah keterlaluan sama lo. Gue minta maaf, Ag. Please. Gue mohon maafin gue,”

            Dengan kasar ku tutup tirai jendela kamarku dan berlari menuju kasur. Tak perdulikan teriakan Cakka dan suara hujan yang semakin deras di luar sana. Hati dan perasaanku terlanjur sakit akibat ulah laki-laki itu. karena dia, namaku jadi jelek dan semua guru memandangku seolah aku ini virus. Intinya, kebencianku sudah mencapai level tertinggi dan aku tak lagi sudi bertemu dengan laki-laki itu. biarkan saja dia. Kalau perlu sampai mati tersambar petir dan itu pasti akan membuat kehidupanku jauh lebih baik.

            ::

“Ag, bu Zahra manggil lo tuh!” seru Nova saat baru saja ku jatuhkan pantatku di atas kursi. Ada masalah apa lagi sih? Perasaan seminggu ini aku mendekam di rumah karena skors.

            “Kenapa?” tanyaku dengan dahi mengerut. Nova tampak menggeleng pelan dan sepertinya ia pun tak mengetahui alasan Bu Zahra memanggilku karena apa. Dan akhirnya, dengan perasaan yang berdebar aku pun memutuskan untuk ke kantor kepala sekolah.

            ::
“Lo ngeliat Cakka gak?” tanyaku pada salah seorang murid setelah aku selesai dengan bu Zahra beberapa saat lalu di ruangannya. Siswa itu tampak menggeleng pelan dan menatapku dengan tatapan menyesal.

            Aku pun mengangguk dan tersenyum mengerti kemudian kembali berjalan menelusuri koridor mencari sosok Cakka.

            “Ibu sudah tau masalah yang sebenarnya seperti apa. Kemarin Cakka mendatangi ibu, dan dia menceritakan semuanya. Maaf sudah berfikir yang macam-macam soal kamu, Ag. Dan ini, Cakka menyerahkan jabatannya sebagai ketua OSIS pada kamu.”

            ‘Lo dimana sih Cakka?’

            Bukkk. “Auuuh. Rayyyy, lo jalan hati-hati dong,” dumel ku kesal saat Ray tiba-tiba saja nongol dari ujung koridor dan menabrakku begitu saja. Cowok imut itu menyeringai tampa dosa dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri.

            “Lo tuh yang matanya kemana? Mikirin apaan sih, Ag? Jalan meleng begitu,” tanya dan ucap Ray sambil menepuk pelan lenganku.

            “Gue nyariin Cakka. Lo ada lihat dia gak?” tanya ku akhirnya. Ray tampak menyipitkan matanya memandangku dan seulas senyum jahil tercetak di wajahnya.

            “Please deh Ray, gak usah mikir yang macem-macem. Gue ada perlu sama temen lo,” ucapku sebal. Ray pun terkikik kecil kemudian mengangguk-angguk mengerti.

            “Cakka sakit. So, hari ini dia gak masuk,” jawab Ray seadanya.

            “sakit?” tanyaku ragu. Ray pun tampak mengangguk-angguk kembali.

            ---

“Cakka!” seruku saat melihat sosok Cakka yang pagi itu berjalan menelusuri koridor.kemarin di saat mampir di rumahnya, kata pembantunya Cakka dan keluarga lagi keluar kota,. Sedikit heran. Bukannya dia sakit yah? Tapi kok malah pergi keluar kota gitu sih? Ah bodo deh, itu mah urusan keluarganya.

            “Cakkaaa!” panggilku sekali lagi. Cakka menoleh dan saat itu baru kusadari bahwa wajah Cakka kali ini terlihat begitu pucat.

            “Kenapa, Ag?” tanyanya dengan suara yang begitu terdengar lirih. Mendadak aku menatapnya cemas dan perlahan berjalan menghampirinya.

            “Gimana keadaan lo, udah baikan?” tanyaku basa-basi. Cakka tersenyum manis dan mengangguk kecil. Tanpa sadar aku menghela napas lega. “Emmm. Cakka, makasih ya, lo udah mau jelasin masalah sebenarnya sama bu Zahra. Dan gue minta maaf, karena gara-gara gue, lo sampai sakit kayak gini,” terangku akhirnya. Cakka mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk dan menatap tepat manik mataku lekat.

            Cakka tersenyum sangat manis. “Gue yang seharusnya minta maaf sama lo, Ag. Sumpah gue ngerasa gue memang jahat banget jadi cowok,” ucap Cakka tulus sambill mengacak pelan rambut lebatnya. Wajah tengilnya tak lagi terlihat.

            “Lo emang cowok jahat tau gak sih,” gumamku sembari menoyor pelan perut Cakka.
           
            “Auuuh!” Cakka meringis. Wajahnya terlihat semakin pucat.

            “Eh? Sorry, Kka. Gue gak sengaja. Lo masih sakit?” tanyaku panik dan merangkulkan lenganku di lengan kanan Cakka. Sedetik kemudian ia tersenyum cerah dan melepaskan rangkulanku di lengannya dan berusaha berdiri tegak.

            “Apaan sih lo? Gue Cuma bercanda lagi,” serunya sembari tertawa dan mengacak pelan puncak kepalaku. Aku pun hanya tersenyum tipis menanggapi dan memandang lekat wajah pucat Cakka. Ia masih tersenyum, namun samar terlihat kerutan kecil di dahinya dan ia tampak seperti meringis.

            ::

“Siapa sih?” seruku sambil menepuk pelan punggung tangan yang menutupi kedua mataku. Sedetik kemudian terdengar suara tawa itu dan perlahan kedua tangannya terlepas dari mataku dan mengacak pelan puncak kepalaku.

            “Isssh, Cakka lo masih rese aja sihhhh,” keluhku sambil membenarkan beberapa helai anak rambutku yang mulai berantakkan. Cakka cekikikkan dan dengan seenaknya menarik begitu saja karet rambut yang menyanggul asal rambut panjangku. “Cakkaaaaa!” teriakku dan langsung saja mengejar Cakka yang sudah lebih dulu berlari keluar kelas. Yaampun, ini anak kok jahilnya gak ngilang sih.

            ::

“Pulang bareng gue yuk, Ag!” seru Cakka dari dalam mobilnya. Ku lirik sepeda yang tengah kunaiki dan Cakka yang duduk di balik setiurnya bergantian.

            “Sepeda gue?” tanyaku. Cakka tampak berfikir, kemudian ia tersenyum cerah dan dengan gesit memarkirkan mobil mewahnya di bawah pohon tak jauh dari gedung sekolah, semenit kemudian berjalan menghampiriku.

            “Kita naik sepeda lo aja!” ucapnya dengan wajah berbinar. Wajahku menatapnya dengan tampang cengo’. “Igh, lo kesambet apaan?” tanyaku dengan dahi berkedut. Cakka nyengir. Dan dengan senak jidat menarik lenganku hingga aku hengkang dari atas sepedaku.

            “Ayo naik!” serunya yang kini sudah duduk manis di atas fixieku.

            “Emang lo bisa naik sepeda?” tanyaku dengan tampang bodoh. Ku lihat wajah Cakka mendadak gemas dan dengan sigap ia menarik lenganku hingga aku jatuh terduduk di atas besi di antara kursi tempat ia duduk dan stank.

            “Eh buseeeet, pantat gue sakit dodol!” seruku sembari menoyor pelan lengan Cakka. Cakka hanya terkikik geli dan pelan-pelan ia mulai menggoes sepedanya.

            “Huaaa. Lo hebat juga yah goesnya,” ucapku sambi sesekali melirik wajah Cakka yang berada tepat di atas kepalaku. Mendadak jantungku berdetak seratus kali lebih cepat saat menyadari punggungku menempel sempurna di dada bidangnya. Aaaa. Demi langit dan bumi beserta seluruh alam, aroma tubuh Cakka benar-benar teras sampai kehidung. Kalau begini ceritanya, aku rela banget deh jarak rumahnya nambah berkilo-kilo meter lagi.

            “Ag, mampir ke taman dulu yuk!” seru Cakka sesaat kemudian.

            “Ngapain?” tanya ku setengah berteriak sambil membenarkan rambutku yang mulai berterbangkan terkena tiupan angin.

            “Nongkrong. Gue udah lama banget nih gak nonkrong. Ayo dog, Ag, mau yah?” ajak Cakka antusias. Aku masih tampak berfikir tak lama akhirnya pun mengangguk semangat.

            ::

Aku menatap lekat wajah Cakka. Cowok di sampingnku ini benar-benar begitu menggemaskan. Terlihat berbeda dari dirinya yang biasa kulihat di sekolah. Dengan gerakkan lucu Cakka menjilati ice cream di tangannya membuat sedikit cream berwarna merah muda itu menempel di sudut bibirnya.

            “Lo makan ice kayak anak bayi deh,” komentarku sambil membersihkan noda icecream di sudut bibirnya. Cakka hanya tersenyum simpul dan dengan nikmat kembali menjilati ice miliknya.

            “Lo tau gak sih, Ag. Gue dari dulu pengen banget jalan begini sama lo,” ucap Cakka sedetik kemudian dan nyaris membuatku tersedak corn ice cream yang kini tengah aku nikmat. Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan mata menyipit.

            Cakka tampak tersenyum. “Lo mau tau gak, kenapa gue seneng banget jahilin lo?” tanya Cakka dan kali ini menatap lekat tepat di manik mataku. Aku membalas tatapannya dan mengangguk kecil.

            “Itu karena… uhuk,” ucapannya terpotong karena tiba-tiba ia seperti menahan sakit di dadanya.

            “Lo gak papa, Kka?” tanyaku panik dan menyodorkan sebotol mineral ke arahnya. Cepat-cepat ia meraihnya dan meneguk isinya hingga setengah.

            “Ehhmmm, gimana kalau besok kita jalan lagi? Gue bakal kasih tau semua alasan, kenapa gue bersikap kayak gitu sama lo. Gimana?” tanya Cakka dan menatap manik mataku semakin dalam. Aku ragu sejenak. Tampak berfikir keras. Apa penting alasan itu untukku? Buat apa? Tapi… aku menggigit bibir bawahku dalam. Kini giliranku menatap wajah Cakka lekat dan untuk kesekian kalinya kusadari wajah cerah Cakka terlihat begitu  pucat.

            “Cakka… lo sakit?” tanyaku hati-hati dan menyentuh pelan pipinya. Ia tersenyum manis sambil meraih tanganku yang menempel di wajahnya, menggenggamnya erat dan menggeleng kecil.

            “Gimana?” tanyanya lagi. Dan kali ini, tampa ragu aku pun mengangguk pasti.

            ----

Mendadak aku merasakan persaanku berbunga. Dengan gesit aku bergerak di depan cermin sambil mematut diri. Dress? Oke. Rambut? Oke. Sepatu? Oke. Make up? Juga oke. Sip! Akhirnya semua beres dan siap melesat kelantai bawah menemui seseorang yang entah mengapa tiba-tiba saja menjadi penting di hatiku.

            “Sorry, gue lama yah?” ucapku agak canggung. Ia menatapku begitu intens dari ujung kaki sampai ujung kepala bergantian dan perlahan mendekat ke arahku.

            “Lo cantik banget,” pujinya. “Ini buat lo!” serunya kemudian dan menyodorkan sebuket bunga lili putih ke arahku. Bunga yang sangat amat aku sukai. Dari mana dia tau?

            “Ya ampun! Makasih banget yah, Kka,” ucapku sambil menghirup sekilas aroma bunga itu dan berlari menuju dapur, meletakkan bunga tersebut ke dalam vas terlebih dahulu dan kembali menghampiri Cakka yang masih berdiri gagah di ruang tengah rumahku.

            “Kita berangkat sekarang?” tawar Cakka sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Ku tatap uluran tangannya sembari tersenyum dan dengan antusias meraihnya.

“Lest’s go!” seruku penuh semangat.

            ---
Hari ini aku merasa begitu bahagia. Cakka benar-benar jauh berbeda. Tidak lagi tengil, nyebelin dan yang tentunya tidak lagi rese. Ia memperlakukanku dengan sangat baik. Saat makan siang saja, dia dengan santun menarikkan kursi untukku dan memesankan makannya yang layak. Dia seperti tau seleraku. Selesai makan, dia mengjakku nonton. Film yang ia pilih pun sangat bagus. Cerita tentang romantika remaja namun tidak lari dari pesan moral yang mendidik.

            Paling tidak habis pikir, setelah nonton Cakka malah mengajakku untuk foto box. Dia benar-benar cowok yang unik. Segala macam gaya sukses ia tampilkan. Tidak hanya berhenti di situ, selesai berfoto Cakka pun dengan penuh semangat menarikku ke sebuah timezone. Dengan semangat ia memainkan segala jenis permainan di sana. Aku hanya memandangnya geli sembari tersenyum dan terus saja berdiri di sampingnya.

            “Kita ke pantai yuk!” seru Cakka sesaat kemudian sambil menganyunkan genggaman tangannya dan menatap wajahku.

            “Ke pantai?” tanyaku ragu sembari melirik arlogi yang melingkar di pergelangan kiriku. Ia mengangguk semangat dan kini membungkus tangan mungilku dengan kedua telapak tangannya. “Tapi kan udah jam 4, mau ngapain di pantai?” ucap dan tanyaku bingung.

            “Gue pengen lihat sunset bareng orang yang gue sayang,” ucap Cakka dan kontan membuatku kembali menatapnya.

            “Ma –maksud lo?”

            “Udah ayo! Lo juga belum denger alasan gue tentang ke usilan gue selama ini kan?” seru dan tanyanya. Aku pun hanya mengangguk kecil. “Makanya ayo, sebelum semua terlambat,”

            ---

Cakka menjatuhkan tubuhnya tepat di sampingku sambil menatap langit luas di atas nya dengan wajah berbinar. Saat ini kami sudah sampai di tepi pantai dan Cakka membaringkan tubuhnya di sana.

            “So, apa alasan lo ngusili gue selama ini?” tanyaku langsung sembari melempar tatapan lurus ke arah laut. Cakka berdehem pelan dan bangkit dari posisi rebahannya kini memeluk kedua lututnya erat.

            “Mungkin alasan gue terlalu bodoh untuk lo gertiin. Tapi semua itu gue lakuin Cuma karena lo, Ag,” ucap Cakka dan kini menoleh ke arahku. Ku tatap wajah putih Cakka dengan dahi mengerut.

            “Gue memang gak ngerti maksud lo,” ucapku polos. Cakka terkikik geli sambil mengacak pelan puncak kepalaku.

            “Gue sayang sama lo, Ag. Gue gak tau gimana caranya supaya lo sadar tentang keberadaan gue, makanya gue ngelakuin semua itu sama lo,” terang Cakka yang kontan membuat kedua mataku membulat lebar.

            “Apa? Lo…”

            Cakka meraih jemariku dan menggenggamnya erat. semenit kemudian mengecupnya lembut membuatku semakin tersentak kaget.

            “Tapi gue sadar, Ag. Gue sadar, kalau gue memang gak seharusnya jatuh cinta sama cewek sehebat lo,” ucap Cakka yang kini raut wajahnya mendadak sendu. Dahiku mulai tampak mengerut.

            “Kka, lo tau? Gue juga sayang sama lo,” ucap ku akhirnya dan menggerakkan satu tanganku mengelus lembut pipi putih Cakka yang kini terasa begitu dingin. Cakka tersenyum tipis. Ia lepaskan rengkuhanku di wajahnya dan perlahan ia bangkit berdiri.

            “Gue gak pantas buat lo, Ag. Lo benar. Gue seharusnya menghilang dari hadapan lo. Gak seharusnya gue nyeret lo sampai sejauh ini,” terang Cakka dan benar-benar membuat dada ku mendadak sesak. Ku perhatikan punggung Cakka yang berdiri di hadapanku lekat. Perlahan tubuh itu tampak bergetar dan dalam hitungan detik jatuh terjerembat di atas pasir.

            “Cakkaaa!” pekikku tertahan dan segera berlari menghampiri Cakka. Dengan sigap ku rengkuh tubuh kekarnya dan memanggku kepalanya di atas pahaku. Aku tercekat, saat tiba-tiba mulut Cakka terlihat di penuhi dengan cairan berwarna merah. Seingatku, Cakka tidak meminum-minuman berwarna selain air mineral.

            “Cakka? Cakka lo kenapa?” tanyak ku panik sambil dengan tangan gemetar menahan laju darah yang keluar semakin banyak dari mulut Cakka. Mataku mulai terasa perih. Dadaku semakin sesak dan tak lama satu demi satu airmata itu mengalir deras di wajahku.

“Gue… gue… bakal kabulin…. Permintaan lo…” suaranya tercekat. Napasnya terdengar putus-putus. Jemarinya yang terasa dingin menggenggam erat jemari lentikku. Sesuatu terasa menyayat relung hatiku. Kepala ku mendadak pusing saat melihat begitu banyak cairan merah pekat yang keluar dari mulutnya.

            “Cakka, please, lo jangan ngomong macem-macem. Lo tahan,!” rancuku semakin menguatkan pelukkanku di tubuh kekar Cakka yang mulai menggigil. Cakka menggeleng lemah, sambil tangan kanannya bergerak pelan dan mengelus lembut pipi kananku. Ia tersenyum manis. sebuah senyuman yang baru pertama kali ia perlihatkan dan jujur membuat perasaanku menjadi tak menentu.

            “Gak usah… gue udah baikkan kok,” ucapnya terbata. Tangannya semakin terasa dingin dan perlahan terkulai lemas. Mata hitamnya pun pelan-pelan mengatup rapat.

            “Cakkaaaa. Cakkaaaa bangun Cakkaaa,”

            ---

Aku berdiri mematung dengan tubuh gemetar di samping pintu ruang ICU. Suara Ify dan Nova yag sedari tadi terdengar mencoba menenangkanku tak dapat lagi ku dengar. Kulihat tante Lea dan Om Danar orang tua Cakka pun terlihat begitu sedih dan terpukul. Tante Lea menangis sesenggukkan dalam pelukan suaminya. Hatiku miris. Aku masih belum mengerti apa yang tengah terjadi dengan Cakka.

            Tak lama seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU sambil membuka masker dan sarung tangannya dengan gerakkan lambat. Ekspresi itu selalu ku benci setiap saat aku menonton siaran televisi yang nantinya akan mengabarkan kabar yang buruk untuk keluarga pasien. Aku tak berani mendekat. Dan perlahan jatuh meluruh di lantai sambil memeluk kedua lututku erat.

            “Ag? Lo jangan gini dong, itu dokternya udah keluar. Mending kita tanya sekarang, ayo!” seru Ify dan berusaha menarik lenganku. Aku menggeeng kuat sambil emnepis kasar lengan Ify dan mengeratkan pelukkan di lututku.

            “Maaf bu,” ucap sang dokter. Samar-samarku lihat dokter tersebut menggeleng. Dadaku terasa semakin sesak dan dengan gerakkan cepat ku angkat kedua tanganku menetupi telinga serapat mungkin sembari menggeleng kuat.

            “Anak ibu tidak bisa kami selamatkan. Semuanya terlambat. Hatinya sudah rusak dan seharusnya dari beberapa bulan yang lalu kita melakukan trasplantasi secepatnya,” ucapan sang dokter kontan membuat Tante Lea pingsan seketika. Wanita itu terjatuh dalam pelukan sang suami. Dan aku? Kedua tanganku bergetar hebat dan perlahan terlepas dari masing-masing telingaku. Isakkan ku terdengar pelan, dan lama-lama semakin nyaring.

            ---

Air mata itu tak hentinya mengalir. Ini sudah hari ketujuh. Dan hari ini aku tengah berada di tepi pantai, tempat terakhir kalinya aku bisa melihat Cakka dan mendengarkan suaranya. Disini lah ia terbaring dalam pangkuanku.

            Aku jatuh terduduk di atas pasir sambil memeluk sebuah kotak pemberian Ray seminggu lalu. Ray bilang, ini adalah titip Cakka. Dan dia sudah mempersiapkan kotak ini jauh hari sebelumnya. Dengan kedua tangan yang masih terasa bergetar kubuka kotak berwarna ungu itu perlahan.

            Aku diam sejenak menatap beberapa lembar kertas di sana dan seketika mata beningku membulat lebar saat melihat beberapa lembar fotoku di sana. Foto dari saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini saat MOS, begitu pula dengan Cakka. ku raih salah satu foto dan ku lihat sebuah catatan kecil tertulis di belakangnya.

            Lo itu cantik banget sih. Mau di dandanin kayak begimana juga tetep aja cantik ^_^

            Ku tahan suara isakkanku dengan tangan kananku. Kemudian kuraih amplop satu-satunya di dalam tumpukkan foto, kertas dan beberapa benda di dalam kotak tersebut dan membukanya hati-hati.

            Dear Agni,

Hai, Ag. Mungkin saat lo baca surat ini, gue udah gak ada lagi di hadapan lo. Sesuai permintaan lo. Hehehe. Melalui surat ini, gue pengen minta maaf, Ag, sama lo. Gue tau gue jahat banget karena udah nempelin foto sialan itu di mading. Tapi waktu itu gue gak punya niat jahat sedikit pun sama lo, Ag. Waktu itu, gue Cuma mau lo selalu merhatiin gue. Gue tau cara gue salah. Tapi Cuma dengan cara kayak gini yang bisa gue lakuin.

            Gue gak bisa bersikap manis sama lo. Gue takut. Gue gak mau sampai lo juga ikutan suka sama gue. Hehehe. Geer yah gue? Tapi hal seperti ini emang harus gue antisipasi, Ag. Gue! Cakka Ferian. Cowok paling nyebelin dan yang paling lo benci satu sekolah mengidap penyakit yang sewaktu-waktu bisa ngerenggut nyawa gue.

            Kanker hati. Dan ini udah akut. Seharusnya gue harus udah dapatin donor jauh sebelum penyakit gue semakin ganas. Tapi gue gak mau ah, Ag. Gue gak mau buat orang tua gue susah. Gue tau sih orang tua gue mampu, tapi untuk ngebeli hati itu harganya mahal banget Ag. Gue denger dari temen bokap gue yang keluarganya mengidap sakit yang sama kayak gue, mereka sampai ada yang jual rumah dan perusahaan. Gue gak mau Cuma gara-gara gue orang tua gue jadi susah nantinya. Kok gue jadi curhat yah sama lo? Hehehe. Yang jelas Ag, gue itu sayang banget sama lo. Gue udah jatuh cinta sama lo dari pertama kali gue ngelihat lo.

            And, inilah alasan gue kenapa gue selalu ngusili lo sampai bikin lo kesel. Gue Cuma mau lo ngelihat gue, Ag. Tanpa lo harus jatuh cinta sama gue dan nantinya bakal bikin lo sakit. Egois yah gue? Tapi Cuma ini cara satu-satunya supaya lo tetap bisa tersenyum walau nanti gue menghilang dari muka bumi, karena gue Cuma cowok nyebelin yang selalu ngusil itu.

            Huhhh. Sekian surat dari gue ya, Ag. Gue Cuma sanggup nulis segini doang. Dokternya cerewet banget udah nyuruhin gue istirahat mulu dari tadi. Oke. Semoga hari-hari lo menyenangkan seminggu ini gak lihat gue di sekolah :D hehehe dan mungki, seterusnya juga akan begitu.

_with love, Cakka_

            “Lo emang egois Cakka. lo egoiiiiiiis. Lo Cuma mikirin perasaan lo tampa lo mikir gimana perasaan gue!” teriaku sembari menatap penuh kesedihan surat yang kini sudah basah dalam pangkuanku. Ku hempaskan kotak di atas pahaku di atas pasir dan dengan langkah frustasi aku berlari mendekati bibir pantai. Dapat kurasakan air yang begitu dingin menampar pelan kakiku.

            “LO EMANG COWOK PALING JAHAT DI DUNIA CAKKA! LO COWOK PALING TEGA. LO… GUE SAYANG DAN CINTA BANGET SAMA LO, DAN LO HARUS TAU ITU, HUH!” teriakku sekaras mungkis, berharap rasa sesak yang mengganjal di dalam dadaku menghilang.

            Aku jatuh terduduk di atas pasir basah sambil menangis terisak. Cakka keterlaluan. Ia benar-benar keterlaluan. Dengan gontai aku bangkit berdiri dan kembali membereskan beberapa kertas dan foto yang berserakkan di pasir. Sehelai kertas terbang begitu saja dan aku hanya mampu menatapnya sampai kertas itu mendarat di atas sebuah karang dengan posisi terbuka.

            Pelan-pelan sambil membeluk box kotak tersebut kulangkahkan kakiku mendekati karang tersebut. Ombak kembali datang dan menyeret kertas itu hingga berada tepat di bawah kakiku.

            Gue sayang banget sama lo. Would you my girlfriend?

            Aku hanya mampu terpaku. Menatap kertas itu dengan tatapan sendu sambil kembali menahan suara isakkan yang kembali muncul.

            “Gue juga sayang sama lo. Kalau saat ini lo ada di hadapan gue, gue pasti bakal bilang iya,” gumamku lirih.



_FIN_­

Taraaaa. Hahaha. Begimana ceritanya? Enjoy read guys? Hoho absurd yah? Maklum lah yah, gue kan penulis gaje. Wkwkwkwk .:D

@Cluvers_Agniaza

ILY... (SS)



oleh Zet Meirain T pada 23 September 2012 pukul 20:45 ·
cerita absurt bin gajeee -____-"" cekidot *plak*



----


Agni menggerakkan kakinya selincah mungkin dan mendorong papan skeatboardnya dengan gesit. Sesekali gadis berwajah boneka itu melirik arlogi yang melingkar sempurna di pergelangan kirinya yang begitu mungil.

            Gerbang Triguna School mulai tampak dari kejauhan. Senyum cerah itu mengembang di wajah manis Agni dan kakinya bergerak semakin gesit mendorong papan skeatnya. Sepersekian detik pintu gerbang di hadapannya mulai tertutup, dengan kekuatan penuh si gadis berwajah boneka itu menggerakkan kakinya dan memegang tas ransel yang menggantung di pundaknya sekuat mungkin.

            5…. 4…. 3…. 2…. Shuuu.

            Tap. Agni tersenyum merekah, sambil memeluk skeatboardnya dan menoleh ke arah satpam yang berdiri di ambang pintu gerbang tengah menatapnya dengan tampang cengo sambil menggelengkan kepala kecil. Heran juga lihat cewek satu ini, tubuh kecil, namun pergerakkannya begitu tangkas.

            Agni nyengir. “Makasih Pak Sapta. Bapak baiiiiik banget deh,” seru Agni dari tempatnya berdiri. Pak Sapta, satpam SMA Triguna School hanya tersenyum kecil dan berucap seadanya.

            “Si eneng mah selalu bikin bapak sport jantung,” ucap Pak Sapta. Agni hanya terkikik kecil, kembali ia letakkan papan skeatnya di atas lantai dan kembali melaju menelusuri koridor yang mulai terlihat sepi.

            Pelan-pelan Agni menggerakkan papan skeatnya dan pandangannya terus menelusuri sekelilingnya, takut kalau tiba-tiba guru dari bagian kedisiplinan nongol di hadapannya kan bisa berabe.

            Bruuuk.

            “Wadooooh!” Agni memekik pelan, saat di ujung koridor tanpa sengaja tubuh mungilnya menabrak sesuatu. Agni menengadah, sambil menepis rok abu-abu motif kotak-kotaknya pelan. Seketika mata boneka Agni melotot lebar dan dengan sigap ia pun berdiri tegak.

            “Ba –pak!” Agni meringis, sambil menunduk dalam dan menggigit bibir bawahnya. Alamat dia bakal kena sial deh sepanjang hari ini.

            “Ini sudah kesekian kalinya kamu melanggar peraturan sekolah Agania Rafelian. Dan kamu harus saya hukum,” ucap sang guru tersebut dengan gaya khasnya yang berwibawa. Perlahan Agni mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap wajah tampan sang guru idola semua siswa itu lekat-lekat.

            “Perasaan gak cakep-cakep banget deh,” gumam Agni tanpa sadar sambil memeluk erat skeatboard ungunya.

            “Kamu bilang apa?” tanya sang guru setelah ia selesai menuliskan sesuatu di buku catatan kedisiplinan dan menatap Agni tepat di manik mata.

            Agni gelagapan. Ia baru sadar, kalau ternyata si guru yang terkenal tegas, super disiplin dan berwibawa ini memiliki bola mata berwarna coklat dengan lingkar hijau mengelilingi bola matanya. Tipe mata yang sangat Agni suka.

            ‘Aduuuh, mikir apa sih gue?’

            “Ammm, gak apa-apa kok, Pak,” bantah Agni mulai salah tingkah sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.

            “Oke. Ini hukuman kamu. kamu gak boleh pulang sebelum kelar,” ucap sang guru tegas, dan tanpa menunggu protes dari Agni pemuda yang masih berusia 21 tahun itu pun melenggang gagah meninggalkan Agni yang masih terpaku menatap kertas hukuman yang berada di genggamannya saat ini.
            “Eh buseeet :O ! gile bener dah nih hukuman,” pekik Agni tertahan.

            ---

“Lo sengaja telat lagi kan, supaya lo bisa di hukum sama Pak Cakka,”

            Agni nyaris saja tersedak minumannya dan menatap Ify dengan mata menyipit. Gile bener dah nih si Ify, perasaan baru sekali ini deh Agni telatnya ketemu sama Pak Cakka. Biasanya juga sama Bu Zeze atau gak Pak Dayat.

            “Apaan dah lu. Ihhhh, lo kata gue murid apaan kecentilan begitu sama guru,” ucap Agni sambil bergidik dan dengan kasar kembali meneguk minumannya. Nova dan Ify tampak saling berpandangan dan kedua gadis itu pun tertawa pelan bersamaan.

            “Hati-hati lo, Ag. Awas, ntar ikutan naksir baru tau rasa,” ucap Nova sambil terkikik geli. Mata Agni kontan membulat dan melempar sebutir kacang tepat mengenai wajah Nova.

            “Cowok idaman gue itu kayak Rio. Cool. Pinter. Keren. Dan yang pasti siswa SMA,” terang Agni menatap kedua sahabatnya itu geram.

            “Kalau katanya bonyok gue, lebih baik kalau mau cari pacar…. Apa lagi kalau model lo Ag, yang kebelet pengen kawin, cocoknya tuh cari cowok tipe-tipe Pak Cakka gitu deh,” ucap Ify santai, di susul dengan gelak tawa Nova. Sementara Agni , wajah manisnya tampak shyok mendengar ucapan Nova barusan. Sialan banget. Siapa coba yang kebelet kawin?

            “Kamvret lo!!” seru Agni dan kali ini sebuah kotak tissue melayang ke arah Nova. Nova menghindar. Agni tampak manyun membuat kedua sahabatnya itu mau tak mau tertawa ngakak.

            ----
“Bawel lu…. He’eh, ini gue masih di perpus…. Gilaaaaa, buanyak buanget ciiiiin buku yang berantakkan…. Huhhh, gue rasa, si Cakka Cakka itu sengaja deh ngerjain murid begini….. aaah bodo’, orangnya gak ada juga…. Oke siiip…. Ya udah, nanti gue telpon lo lagi….”

            Klik. Agni memutuskan panggilannya dan memasukkan benda kotak yang beberapa detik lalu menempel di telinganya ke dalam saku rok abu-abunya. Bete. 3 jam sudah Agni berada di dalam perpustakaan lantai 3. Salah satu perpustakaan yang jarang banget di kunjungi murid-murid.

            Agni mendengus sebal. Dengan kaki menghentak ia melangkah ke salah satu rak dengan tumpukan buku yang menjulang di depan wajahnya.

            “Perasaan yang lain kalau ngehukum gak sebegininya banget deh,” dumel Agni dan kini memasukkan buku-buku tersebut kedalam sebuah box besar yang terletak di sudut ruangan. “Waduuuh, pinggang gue,” rengek Agni dan dengan langkah gontai berjalan ke luar dari rak-rak sumpek di bagian paling belakang perpustakaan.

            Sambil menepuk-nepuk punggung belakangnya, Agni menghentikan langkah di depan meja petugas, saat dari kejauhan melihat seluet seseorang tengah tertidur dalam posisi duduk dan sebuah buku menutupi wajahnya. Seingat Agni, waktu dia masuk di dalam sini gak ada siapa-siapa deh.

            Agni melangkah perlahan mendekati sosok tersebut. Dengan hati-hati Agni menurunkan buku bacaan yang menutupi wajah orang itu dan detik berikutnya Agni tersentak kaget dan bergerak mundur dengan langkah hati-hati.

            “Kok Pak Cakka ada di sini?” gumam Agni bingung. Di perhatikannya sosok Cakka yang tengah tertidur pulas lekat-lekat. Dahi Agni mendadak mengerut. Cakka terlalu muda ternyata kalau di pikir-pikir. Wajahnya begitu bersih dan tidak ada kerutan di dahinya sedikit pun seperti guru yang lainnya –efek stres ngadapin murid–. Dan Cakka, juga terlalu terlihat gaya dan begitu fashionebel dalam berpakaian. Dia sangat pandai meng-in-match kan kemeja, dasi, sepatu semi formal dan celana jeansnya sehingga membuatnya nyaris seumuran dengan Agni.

            “Apa saya terlalu tampan, sampai kamu ngeliatinnya seserius itu?”

            Agni tersentak kaget. Dengan sukar ia menelan ludahnya dan mata bonekanya mulai bergerak lincah mencoba mengalihkan perhatian dari wajah yang jujur emang tampan banget di hadapannya itu.

            Cakka menegakkan posisi duduknya dan dengan gerakkan yang sukses membuat Agni menahan deru napasnya membuka kacamata yang sedari tadi membingkai mata coklatnya.

            “Ammm. Saya boleh pulang sekarang kan, Pak?” tanya Agni langsung. Lama-lama berdiri di hadapan Cakka mungkin akan membuat Agni kena serangan jantung dadakan sebentar lagi –sepertinya.

            Cakka tersenyum –sebuah senyuman yang jujur belum pernah terlihat sekali pun di wajahnya yang biasa terlihat dingin itu– dan bangkit berdiri dari duduknya, menatap Agni tepat di manik mata.

            “Sudah selesai semuanya?” tanya Cakka lagi. Agni menganguk, sambil melirik rak di belakangnya.

            “Udah kok Pak. Kalau Bapak gak percaya, silahkan periksa sendiri aja,” ucap Agni. moodnya mendadak jelek. Badannya udah pegel dan sekarang dia udah ngerasa capek banget pengen cepet-cepet tidur.

            Cakka kini terkikik kecil sambil mengacak pelan puncak kepala Agni dan itu –jujur– sukses membuat jantung Agni berdebar tak karuan.

            “Ya sudah. Kalau memang kerjaan kamu udah kelar silahkan pulang,” ucap Cakka kemudian.

            Agni tersenyum antusias. Ia mengangguk semangat dan dengan langkah lebar berjalan keluar dari gedung perpustakaan.

            ---

Tiiin

            Agni berhenti mengoes skeatboardnya dan menoleh kebelakang. Dahi Agni tampak mengerut saat melihat sebuah mobil super mewah berhenti di sampingnya.

            Kaca jendela turun perlahan. Agni pun pelan-pelan menunduk dan detik berikutnya ia terlihat kaget saat mendapati Cakka tengah tersenyum manis dan duduk di balik kemudi.

            “Kamu mau pulang?” tanya Cakka setengah berteriak. Agni yang masih sedikit terkejut pun hanya bengong dan mengangguk kaku. “Dengan skeatboard?” tanya Cakka lagi dan menatap Agni dengan dahi mengerut.

            Agni melirik ke arah skeatboardnya yang masih tergeletak di aspal, kemudian menariknya dengan ujung kaki sampai benda persegi panjang itu kini berada dalam pelukkannya. “Iya,” jawab Agni seadanya.

            “Rumah kamu dimana?” tanya Cakka lagi.

            “Perkomplekan widuri,” jawab Agni.

            “Itukan lumayan jauh. Bareng sama aku aja, ayo!” ucap dan tawar Cakka kontan membuat mata boneka Agni kini kembali melotot.

            ‘Aku? Gak salah pak Cakka bilang ‘Aku’?’

            “Ehhh, gak usah Pak. Saya udah biasa kok. Nanti sampai halte saya juga naik bus,” tolak Agni halus. Cakka tersenyum sembari menggeleng kecil.

            “Gak usah gak enakka gitu, mentang-mentang aku ini guru kamu. ayo masuk, kebetulan kita searah kok,” ucap Cakka lagi dan kini sukses membuat Agni benar-benar cengok.

            Wajah Agni tampak ragu. “Mau masuk sendiri? Atau aku yang paksa kamu masuk nih?” ucap Cakka serius. Agni kembali menelan ludahnya dengan sukar dan dengan sigap akhirnya pun mengalah dan masuk ke dalam mobil sport milik Cakka.

            ---

Nova dan Ify tampak saling berpandangan. Kedua gadis itu menatap lekat wajah sahabat mereka yang sedari tadi senyam-senyum gak jelas dengan dahi mengerut.

            “Kenapa sih tuh anak?” tanya Nova pada Ify. Ify yang sedari tadi asik mengemut lolipopnya tampak menggeleng dan juga terlihat bingung mendapati Agni yang dari pagi tadi udah kayak orang gila bengong sambil senyum-senyum sendiri begitu.

            “Agni!” seru Ify sambil menoyor pelan lengan Agni. Agni berdehem kecil, masih asik tersenyum sendiri gak jelas. “WOYYY AGANI!” teriak Nova dan Ify serempak, kontak membuat Agni terperanjat dan kini mendelik garang menatap kedua sahabatnya itu.

            “Buseeeeet. Apaan dah lu berdua teriak-teriak di kuping gue,” dumel Agni sambil mengelus pelan telinganya yang mendadak perih.

            “Lo sihh, di panggilin bengong mulu. Lo udah kayak kucing nenek gue yang kemarin tewas akibat bengong tau gak,” ucap Nova seenaknya dan kontan membuat Ify tergelak, sementara Agni jadi semakin manyun.
            “Lo kenapa sih?” tanya Ify kemudian. Agni mulai terlihat gelagapan dan menggaruk-garuk belakang telinganya yang tak gatal.

            “Apaan? Gak kenapa-napa kok gue,” ucap Agni nyengir. Nova dan Ify saling berpandangan, keduanya tampak mengerutkan dahi menatap Agni heran.

            ---

“So, lo mau langsung balik, Ag?” tanya Ify setelah bel pulang berbunyi setengah jam yang lalu. Tadinya sih mereka udah janjian buat nongkrong dulu, tapi mendadak Agni gak bisa.

            “Gak. Gue mau ke rumah sepupu gue dulu, mau nganterin pesenan nyokap,” ucap Agni yang masih sibuk membereskan beberapa perlengkapan tulisnya.

            “Tumben. Biasanya juga lo gak pernah mau tuh,” komentar Ify. Agni hanya berdecis sambil menyandangkan tasnya dan tersenyum tipis pada sahabatnya itu.

            “Kalau ada si Acha juga dia yang gue suruh. Tapikan tuh bocah sekarang sekolah di tempat Eyang gue. Kakak gue juga mendadak super sibuk. Jadi berhubung tinggal gue anak nyokap yang ada di rumah, soooo, yah mau gak mau lah gue harus kesana,” terang Agni panjang lebar.

            Nova dan Ify tampak terkikik dan menggeleng kecil menatap wajah Agni lekat.

            “Dasar lo. Gitu gitu kan dia sodara lo, Ag,” ucap Nova.

            Agni bergidik. Di sambarnya skeatboard yang teronggok di pinggir meja dan mulai berjalan keluar kelas di ikuti oleh Ify dan juga Nova.

            “Kalau sepupunya model dia siiiih, yah gue ogah. Lo tau gak, itu anak gak pernah dewasa. Percuma aja mau merried, tapi kelakuan kayak bocah,” Agni berdecak dan lagi-lagi membuat kedua sahabatnya itu tertawa.

            “Ya udah gih, balik sana lo ntar ke sorean,” ucap Ify kemudian.

            “Eh iya. Oke deh, gue duluan yah guyss!” seru Agni. sebelumnya ia memeluk kilat kedua sahabatnya dan melambai kecil kemudian berlalu.

            ---

Agni menghentikan laju skeatboarnya di depan sebuah rumah bergaya minimalis. Sebuah mobil sport yang terpakir di depan rumah tersebut mengalihkan perhatian Agni. gadis manis itu berhenti sejenak sembari menatap lekat mobil berwarna putih susu itu.

            “Kayak pernah lihat deh,” gumam Agni, kemudian ia bergidik tak perduli dan dengan semangat melangkahkan kakinya memasuki perkarangan rumah..

            “Kak Shilla mana, Mbok?” tanya Agni saat di depan pintu ia bertemu dengan seorang wanita paruhbaya yang biasa mengurus rumah minimalis tepat Shilla menetap saat ini.

            “Mbak Shilla ada di halaman belakang Non. Masuk saja, tapi Mbak Shilla lagi ada tamu,” ucap Mbok Nah. Agni pun mengangguk mengerti dan dengan kilat merangkul Mbok Nah kemudian berlari kecil menuju halaman belakang.

            “Kak Shillaaaaa. Ini titipan nyokap gue buat e –lo… oh-my-god,” Agni menutup mulutnya dengan gerakkan cepat. Bungkusan di tangannya terjatuh di lantai bersamaan dengan itu Shilla dengan cepat menjauhkan diri dari pemuda di hadapannya dan menoleh ke arah pintu, menatap Agni gelagapan dengan ekspresi wajah ketakutan.

            “Pak …. Ca –kka ?” seru Agni tertahan. Pemuda itu pun dengan sigap berdiri dan membenarkan letak dasinya yang terlihat berantakkan. Agni menggeleng pelan, dan kini tatapanya mendarat pada Shilla. “Lo gila?” pekik Agni. Shilla mulai gelagapan dan berjalan terburu-buru menghampiri Agni.

            “Ag, gue bisa jelasin. Please lo jangan ngomong apa pun ke nyokap gue, apa lagi sama Riko. Pleaseeee,” Shilla meraih lengan Agni dengan sigap dan menggenggam jemari mungil Agni erat. gak tau kenapa Agni mendadak sesak napas saat melihat ekspresi berbeda dari wajah Cakka sesaat lalu ketika ia masih berhadapan dengan Shilla.

            Agni menggeleng, kali ini lebih kuat dan dengan kasar menepis cengkraman Shilla.

            “Gue gak ngerti. Dan gue gak tau harus gimana. Terserah lo aja deh, Kak. Hidup-hidup lo. Lo yang jalanin, so, gue gak mau ikut campur. Okay!” ucap Agni menatap tegas manik mata Shilla sembari mengangkat kedua tangannya di udara.

            “Ag! Agni!” seru Shilla. Agni tak menghiraukan dan terus saja berlalu.

            ---

“Kamu udah anterin pesanan Mama buat Shilla kan sayang?” seru sang Mama dari ruang tengah saat melihat putri kecilnya itu berlari heboh menuju tangga. Agni tak menghiraukan dan dengan langlah semakin lebar terus saja menelusuri setiap anak tangga sampai menuju kamarnya.

            “Agni?” sang Mama masih berseru dari tempatnya duduk. Wanita anggun itu tampak mengerutkan dahi menatap ke arah tangga dengan dahi mengerut.

            Brakkk. Agni membanting dengan kasar papan skeatboardnya di lantai. mendadak ia merasa kesal. Kesal dengan Shilla, dan kesal dengan Cakka. Gak ngerti kenapa juga dia harus kesal, ini bukan kali pertama Agni memergogi Shilla sama cowok lain, tapi yang tadi itu adegan paling intim yang sepanjang hidup baru pertama kalinya Agni lihat. Terlebih, beberapa bulan lagi Shilla akan menikah dengan salah seorang anak temen Mamanya dan Cakka….

            “Gue kenapa sih? Errrrgh. Kenapa juga gue harus kesel? Seharunya ya gak masalah dong kalau Pak Cakka juga naksir Kak Shilla. Kenapa juga gue harus seweot begini,” oceh Agni sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.

            Sesaat kemudian Agni mendudukkan diri di tepi ranjang. Ia sedikit merasakan sesak napas saat mengingat sosok Cakka, dan jantungnya pun berdetak tak karuan. Terasa begitu sakit saat mengingat kembali ekspresi Cakka saat ia memergogi aktifitasnya bersama Shilla beberapa saat lalu.

            “Mamaaaaaa!” teriak Agni tak karuan. Gadis manis itu mulai tampak menangis sambil menahan dadanya yang benar-benar terasa sakit. “Maaaaa!” Agni semakin merengek, tak lama seorang wanita cantik tampak memasuki kamar Agni dengan wajah paniknya.

            “Kamu kenapa sayang?” tanya sang Mama khawatir. Agni menggeleng pelan sambil menggigit bibir bawahnya dan menekan-nekan pelan dadanya.

            “Agni…. kayaknya  Agni…” Agni terengah, membuat wajah sang Mama terlihat semakin cemas. “Serangan jantung. Agni kayaknya kena serangan jantung, Ma,” ucap Agni akhirnya.

            “APA?”

            ---

Agni menundukkan kepalanya dalam, tak berani menatap wajah sang Papa, Mama, dan juga Gabriel kakaknya yang seorang dokter umum. Gadis manis itu tampak cemberut sambil meremas-remas jemarinya. Gabriel menggeleng kecil menatap adiknya itu. sementara Papa tampak mengurut pelan pelipisnya dan Mama berusaha menenangkan sang suami dengan mengelus pelan lengan kekar Papa.

            “Kamu ini hobi banget ya buat orang tua cemas? Untung saja Papa sama Mama kamu gak punya penyakit jantung. Kalau sampai tadi Mama atau Papa langsung tewas denger kalau kamu kena serangan jantung begimana, Ag?” omel sang Papa mentap heran putrinya itu. ini si Agni dari dulu selalu saja suka bertindak heboh, buat seisi rumah geger.

            Beberapa jam lalu gara-gara panik, Mama sampai nelpon Papa yang lagi kerja di kantor, dan Gabriel yang masih ada jadwal praktek di salah satu rumah sakit swasta milik keluarga mereka, dan karena kedua pria itu memiliki tingkat kekhawatiran dan rasa sayang yang berlebihan untuk Agni, akhirnya mau gak mau keduanya pun akhirnya memutuskan melesat pulang secepat mungkin.

            “Tapi beneran kok, Pa, tadi itu jantung Agni dagdigdug gak karuan gitu,” Agni berusaha membela diri.

            “Tapi tadi Kakak kamu bilang, kamu baik-baik saja. Kamu jangan meremehkan Kakak kamu, Ag. Gabriel itu lulusan S3 kedokteran di luar negeri. Dia udah dapat berbagai penghargaan karena merupakan salah satu dokter terbaik di indonesia. Jadi tidak mungkin Kakak kamu keliru menangani adiknya sendiri,” terang sang Papa menatap wajah Agni lekat.

            “Tapi kok…” Agni bersikeras. Gabriel pun akhirnya bangkit dari posisi duduknya dan menghampiri Agni.

            “Kamu Cuma lagi stres,Ag. Cuma lagi banyak beban pikiran aja makannya begitu,” ucap Gabriel berusaha menenangkan kedua orang tuanya dan juga Agni tentunya.

            “Stres? Kakak bilangi Agni gila gitu?” tanya Agni menatap Gabriel dengan mata menyipit. Gabriel tergelak, sambil mengacak pelan puncak kepala Agni.

            “Yang lebih tepatnya lagi, sepertinya kamu lagi galau,” telak Gabriel dan kali ini sukses membuat Agni cemberut.

            Agni melirik sang Papa, pria itu tampak menggeleng masih dengan menekan pelan pelipisnya, sementara sang Mama mulai tampak tersenyum geli.

            ---

Nova dan Ify tertawa terbahak-bahak mendengarkan curhatan Agni saat ini. Kebutalan hari ini beberapa guru tengah mengadakan rapat menjelang kelulusan sehingga kelas Agni dan beberapa kelas lainnya tidak belajar. Karena bosan terus diam di dalam kelas Agni pun akhirnya memboyong kedua sahabatnya itu ke perpustakaan di lantai tiga, perpustakkan yang tak seorang pun berani naik kecuali kepepet, karena stok atau persediaan buku di perpus lantai satu atau dua habis.

            “Puas banget lo berdua ngetawain gue yah,” ucap Agni sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap kedua sahabatnya itu sebal.

            “Lo kocak banget tau gak sih? Hey, Ag. Dari cerita lo aja kita udah bisa nyimpulin, kalau lo itu udah mulai jatuh cinta sama Pak Cakka,” terang Ify menggebu dan di angguk setujui penuh semangat oleh Nova.

            “What? Gue? Jatuh cinta sama Pak Cakka?” Agni berteriak nyaring, refleks membuat Nova bergerak dan membekap mulut Agni kuat.

            “Berisik lo, Ag,” Nova menoyor pelan kepala Agni.

            “Abis lo gila mikirnya begitu,” ucap Agni sambil mengilap mulutnya bekas bekapan Nova tadi.

            “Ag, lo gak usah gengsi sama kita. Yah, kita hapal ucapan lo yang lo gak suka cowok seumuran Pak Cakka, karena lo sukanya model Rio, but, setiap orang gak bisa nentuin sendiri gitu aja sama siapa dia jatuh cinta,” ucap Ify bijak.

            “Jawab jujur?” seru Nova kemudian.

            Agni mengangguk.

            “Waktu lo liat Pak Cakka sama Kak Shilla, lo ngerasa dada lo kayak di tusuk-tusuk gak?” tanya Nova. Agni kembali mengangguk. “Trus mata lo berasa berkunang-kunang?” Agni mengangguk lagi.

            Nova dan Ify pun saling berpandangan dan keduanya tersenyum bersamaan sambil merangkul Agni. “Gak salah lagi. Lo, positif jatuh cinta sama Pak Cakka,” seru Nova penuh semangat.

            ---
Bruuk. Agni jatuh tersungkur saat tanpa sengaja ia  menabrak sebuah mobil yang baru saja hendak keluar dari parkiran. Agni mendadak ngeblank akibat curhat dengan kedua sahabatnya tadi. Agni terduduk di aspal begitu saja, membiarkan skeatboardnya meluncur entah kemana.

            “Agni?” seru sebuah suara. Dengan gerakkan layaknya zombi Agni menoleh dan detik itu juga mata bonekanya tampak melotot. “Kamu gak papa?” tanya seseorang itu lagi.

            Agni menggeleng pelan. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi linglung. Dan tanpa menunggu persetujuan atau pun protes dari Agni sosok tersebut mengangkat tubuh mungil Agni dan membopongnya menuju mobil.

            ---
Agni  tersadar dari kelinglungannya saat mobil yang ia tumpangin kini berbelok ke daerah perumahan yang tak asing baginya, dan dengan cepat Agni pun menoleh ke samping kanannya.

            “Berhenti!” seru Agni sambil menepuk keras lengan Cakka. “Hissst,” Agni meringis pelan saat mobil berhenti mendadak membuat dahinya membentur dasbor. Cakka menoleh dan menatap kearah Agni dengan cemas.

            “Kamu gak papa?” tanya Cakka yang berusaha menyentuh pundak Agni.

            “Gak. Saya gak papa kok, Pak,” ucap Agni dan menghindari sentuhan Cakka. Cakka tampak mengerutkan dahi menatap Agni bingung.

            “Saya turun disini aja,” seru Agni lagi dan bersiap meraih tasnya.

            “Kok gitu? Sedikit lagi kita sampai di rumah Shilla. Aku antar kamu sampai rumahnya yah?” ucap dan tanya Cakka. Agni tampak ragu. Cakka pun menatap intens manik mata Agni kemudian Agni pun akhirnya mengangguk.

            ---

Sebuah kecupan mendarat di dahi Shilla. Gadis itu tampak tersenyum senang dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi pemuda di hadapannya penuh sayang.

            “Aduuuh. Pelan-pelan dong, Pak,” seru Agni yang untuk kedua kali dahinya menyentuh dasbor. Mobil Cakka mendadak berhenti. Agni menoleh kesamping kanannya kemudian mengikuti arah pandang Cakka.

            Agni menghela napas berat. Di liriknya Cakka lagi. Wajah pemuda itu tampak mengeras sembari mencengkram dengan erat setiurnya.

            Tap. Agni mengurungkan niatnya hendak keluar dari dalam mobil Cakka, saat sentuhan lembut melingkar di pergelangan mungilnya. Agni melirik perlahan ke arah Cakka. Pemuda itu tampak tersenyum lirih dan menunduk sambil mengerjabkan mata beberapa kali. Agni mendadak merasakan sesak napas itu kembali menyerang. Agni bingung. Ia hanya mampu diam menatap Cakka sendu.

            Agni tersentak kaget, saat Cakka tiba-tiba saja menarik tubuh mungilnya dan memeluknya erat. cakka membenamkan wajahnya di pundak Agni. isakkan halusnya terdengar. Agni merasakan sesuatu seakan menindih kepalanya detik itu juga, dengan kaku Agni pun menggerakkan tangannya dan menepuk pelan punggung Cakka.
            ---
Dan disini lah mereka sekarang. Duduk di atas mobil sambil memandang deru ombak di hadapan mereka dengan tatapan berbeda. Agni menyerut es kelapanya perlahan sambil mencuri pandang pada Cakka yang duduk di sampingnya masih dengan wajah murungnya.

            “Bapak terlalu baik untuk perempuan seperti Kak Shilla,” ucap Agni akhirnya. Pandangannya kini menatap lurus ke tengah pantai.

            “Panggil Cakka aja. Aku belum terlalu tua untuk kamu panggil bapak,” Cakka akhirnya bersuara, membuat Agni kembali menoleh dan sedikit terkikik. Ia mengangguk mengerti.

            “Aku tau kok, seberapa besar perasaan kamu buat Kak Shilla,” lanjut Agni. “Tapi kamu juga harus tau, ada orang lain yang mencintai dia jauh lebih besar,”

            “Jadi, maksud kamu cinta aku kurang besar buat Shilla gitu?” tanya Cakka. Agni tertawa pelan sambil melompat turun dari atas mobil dan kini berdiri tepat di hadapan Cakka.

            “Kamu yakin, kamu memang cinta sama kak Shilla?” tanya Agni menatap Cakka tepat di manik mata. Cakka tampak diam, seolah memikirkan ucapan Agni barusan.

            “Gak mungkin aku sesedih ini kalau aku memang gak cinta sama Shilla,” ucap Cakka yang jujur membuat hati Agni memdadak ngilu.

            Agni diam sejenak. Kedua matanya mulai terasa perih. Agni menghirup udara sebanyak mungkin dan berusaha tersenyum. Ia memutar tubuhnya dan kini menatap kearah pantai, bersamaan dengan itu airmatanya mendadak mengalir. Cakka tampak mengerutkan dahinya, memandang langkah Agni yang berjalan ketepi pantai dengan dahi mengerut.

            “Kalau kamu memang cinta sama Kak Shilla, seharusnya kamu berani. Berani merebut dia untuk kamu miliki,” gumam Agni setelah Cakka berdiri bersisihan di sampingnya. Cakka menoleh, sedikit terperanjat melihat garis air di wajah manis Agni.

            “Alasan klasik, dan sangat koyol, kalau kamu berfikir bakal bahagia jika melihat dia bahagia. Itu jelas-jelas bohong besar,” Agni menjatuhkan tubuhnya di atas pasir perlahan sambil kini memeluk kedua lututnya.

            “Kalau kamu benar-benar cinta, kamu pasti memiliki rasa egois yang berharap dia tetap terus di sisi kamu,” lanjut Agni dan kini ia menoleh,menatap Cakka lekat-lekat.

            Cakka tertegun. Ia diam seolah terhanyut akan tatapan dan ucapan yang baru saja Agni katakan. Perlahan seulas senyum tercetak di sudut bibirnya.

            “Kamu benar!” seru Cakka kemudian. Agni sempat tersentak kaget, namun sebisa mungkin ia berusaha terlihat tenang. “Makasih ya, Ag, udah mau nemenin aku dan denger aku curhat,” ucap Cakka tulus. Agni pun tersenyum manis dan mengangguk pelan.

            ---
“Paaaaaak, jangan di tutup dulu pintunyaaa!” seru Agni dari depan pintu gerbang dan dengan gesit mendorong skeatnya. Ia memutar tubuhnya dan menyeringai lebar pada Pak Sapta. “Makasih ya, Pak. Hehehe. Bapak emang yang paling baik deh,” ucap Agni lagi kemudian bergegas menuju kelasnya.

            “Dasar si eneng,” Pak Sapta bergumam sembari menggeleng kecil, menatap punggung Agni yang semakin menjauh.

            “Telat lagi lo?” serbu Nova saat Agni sudah menjatuhkan pantatnya di atas kursi. Ia hanya berdehem seadanya sambil mengeluarkan perlengkapan tulisnya.

            “Sebenernya gue hari ini males banget sekolah. Tapi berhubung bonyok sama Kakak gue yang super nyebelin itu ribut mulu dari gue mulai melek, so, dengan berat hati akhirnya gue berangkat,” ujar Agni dengan santai sambil menghentakkan beberapa alat tulisnya di atas meja.

            Nova dan Ify cengo. Keduanya saling berpandangan dan menatap Agni lekat.

            “Lo gak habis kesambet kan?” tanya Ify dan meletakkan telapak tangannya di dahi Agni.

            “Apaan sih, Fy!” seru Agni dan menepis tangan Ify begitu saja membuat gadis berwajah tirus itu semakin tercengang. Gak biasanya Agni begini.

            “Lo kenapa sih, Ag?” tanya Nova yang kali ini menatap Agni lembut. Agni menghentikan kesibukannya yang sedari tadi membongkar tas dan tampak menghela napas berat. Ia menunduk selama beberapa detik, kemudian menengadah, tersenyum simpul dan menggeleng kecil.

            “Gue gak papa kok,” ucap Agni seadanya.

            ---


            “Kalau kamu memang cinta sama Kak Shilla, seharusnya kamu berani. Berani merebut dia untuk kamu miliki,”

            “Alasan klasik, dan sangat konyol, kalau kamu berfikir bakal bahagia jika melihat dia bahagia. Itu jelas-jelas bohong besar,”

            “Kalau kamu benar-benar cinta, kamu pasti memiliki rasa egois yang berharap dia tetap terus di sisi kamu,”


            Seulas senyum tersungging di sudut bibir Cakka. Ia menggeleng pelan sembari menggaruk pelipisnya pelan. Mendadak ucapan Agni kemarin membuat perasaannya lega. Padahal dia tidak menjalankan sesuai apa yang Agni ucapkan. Ia hanya diam semalaman, merenungi ucapan gadis itu dan gak tau kenapa kalimatnya begitu merasuk dan membuat perasaan Cakka mendadak plong.

            “Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Kka?” Cakka tersentak kaget dan dengan sigap bangkit dari posisi duduknya menatap pria yang jauh lebih tua di hadapannya itu sedikit terkejut.

            “Papa? Kapan Papa datang?” tanya Cakka dan mengamati sekeliling ruangannya dengan tampang bingung. Pria gagah itu tampak tersenyum dan berjalan menghampiri Cakka yang kini sudah berdiri di hadapan mejanya.

            “Kamu ini, dari tadi Papa perhatiin melamun terus. Apa yang lagi kamu pikirkan sih? Sampai Papamu sudah ada di sini kamunya gak tau,” ucap pria itu dan kini merangkul erat pundak Cakka. Cakka tertawa pelan dan balas merangkul sang Papa.

            “Emmmm, Pa!” seru Cakka tak lama kemudian. Pria itu mengangkat wajahnya dan kini menatap wajah Cakka lekat. Dengan intonasi seperti itu pasti ada sesuatu yang penting yang Cakka ingin sampaikan padanya.

            “Aku udah nemuin calon menantu yang pas untuk Papa,” ucap Cakka sambil menepuk-nepuk pelan pundak sang Papa.

            “Serius?” sang Papa menatap Cakka tak percaya. cakka tersenyum cerah dan mengangguk pasti.

            ---

“Yang ini cantik gak?” tanya Shilla sambil berputar di hadapan Agni. Agni yang tadinya terlihat malas pun akhirnya bangkit dari posisi duduknya dan menatap Shilla lekat. Harus ia akui, kakak sepupunya itu memang terlihat anggun dengan gaun pengantin berwarna coklat yang melekat begitu sempurna di tubuh rampingnya.

            Agni mengangguk semangat. “Lo cantik banget kak,” seru Agni dan untuk pertama kalinya di rangkulnya lengan Shilla. Shilla tertawa pelan dan membalas rangkulan Agni.

            “Gue boleh tanya sesuatu gak, Kak?” tanya Agni kemudian. Shilla menoleh, menatap wajah Agni sekilas dan mengangguk kecil.

            “Lo sebenernya cinta gak sih, sama Kak Riko?” tanya Agni ragu sontak membuat Shilla sedikit terkikik dan mengacak pelan puncak kepala Agni.

            “Kok lo nanya begituan sih?” di tatapnya manik mata Agni.

            “Habis gue heran sama lo. Lo tau, kak Riko itu cinta mati banget sama lo. Dia setia selama 5 tahun pacaran, tapi lonya entah udah berapa ratus kali ngekhianati dia,” ucap Agni jujur dan lagi-lagi membuat Shilla tergelak.

            Shilla tersenyum dan kini menuntun Agni menuju salah satu sofa di sudut ruangan. “Ag, lo tau gimana sifat gue kan?” tanya Shilla sambil menepuk-nepuk pelan punggung tangan Agni. Agni mengangguk.

            “Gue. Dari dulunya itu tipe cewek yang memang suka jelalatan,” aku Shilla membuat Agni kali ini tergelak. “Tapi lo harus ingat, gue juga manusia. Cewek biasa yang juga pengen di cintai secara tulus. Bukan Cuma karena status gue anak seorang pengusaha atau pun karena fisik gue,” lanjut Shilla.

            “Dari semua cowok yang gue kenal, gue Cuma nemuin itu di Riko…. Dan Cakka,” ucap Shilla dan kali ini membuat kedua mata boneka Agni membulat lebar.

            “Cakka?”

            Shilla mengangguk.

            “Cakka itu temen lama aku, sebelum aku kenal sama Riko. Tapi beberapa tahun kami putus hubungan karena Cakka ngelanjutin studynya di luar negeri, dan kami baru ketemu lagi setahun yang lalu,” jelas Shilla.

            “Dia cinta pertama aku, Ag. Tapi…. Walau begitu bukan dia yang terakhir,” ucap Shilla. Agni tampak menaikkan satu alisnya menatap Shilla tak mengerti.

            “Aku tau Cakka tulus. Tapi aku gak bisa bohong juga, kalau aku udah benar-benar jatuh cinta sama Riko. Dan, 5 tahun bukan waktu yang singkat buat aku belajar mencintai dan mengerti Riko,”

            “Jadi lo lebih milih nyakitin Cakka dengan cara lo yang ngasih dia harapan kosong gitu?” potong Agni cepat. Dadanya mendadak bergemuruh.

            “Jangan salah faham, Ag. Gue udah ngomong sejujurnya sama Cakka tentang hubungan gue dan Riko. Gue juga gak habis pikir kenapa waktu itu Cakka gak keberatan gue jadiin yang kedua,” lanjut Shilla.

            “Itu karena dia benar-benar cinta sama lo, Kak,” ucap Agni dan tanpa sadar kedua matanya mulai tampak berkaca. “Lo…. Beneran gak ada rasa sedikit pun sama dia?” tanya Agni terbata. Shilla tersenyum manis sambil mengelus lembut pipi chubby Agni.

            “Beberapa tahun yang lalu mungkin ada. Tapi sekarang, rasa itu cukup sebatas rasa sayang gue untuk sahabat,” ucap Shilla bijak.

            “And, by the way, Ag. Kapan lo mau jujur soal perasaan lo sendiri?” tanya Shilla kemudian dan kontan membuat mata Agni kini terbelalak lebar.

            “Huh?”

            “Lo gak perlu ngeles. Mata lo, udah cukup ngasih jawabannya,”

            ---

Agni berdiri di sudut ruangan, menatap Shilla dan Riko yang berdiri bersisihan di depan pelaminan bernuansa pastel dengan tatapan berbinar. Agni tersenyum geli jika mengingat seberapa kesalnya ia dengan sepupunya ini. Namun sekarang, perasaan itu mendadak berubah jadi perasaan sayang dan bangga.

            “Lo berani jamin gak, kalau Shilla bakal setia dan pernikahan mereka bakal baik-baik aja sampai akhir?” Agni sedikit tersentak begitu sebuah suara menyusup gendang telinganya. Ia menoleh dan seketika mendelik sebal menatap Ify yang tengah bersidekap di samping kanannya.

            “Sialan lo, Fy. Ngagetin,” dumel Agni. Ify tak menggubris dan ia hanya menatap Shilla serius.

            “Shilla cantik banget ya,” gumam Nova dan di angguk setujui oleh Agni.

            “Dan gue harap sifat buruknya itu juga bisa berubah secantik wajahnya,” lanjut Ify. Agni dan Nova saling berpandangan lantas kedua gadis itu pun tergelak bersamaan.

            “Kenapa lo yang jadi senewen, Fy?” tanya Agni menatap sahabatnya itu heran. Ify hanya bergidik kecil dan dengan santai melenggang ke arah pelaminan.

            ---

“Sendirian aja?”

            “Cakka?” Agni terlonjak kaget saat mendapati Cakka kini tengah berdiri di sampingnya. Ia menatap sekeliling balkon yang saat ini memang begitu sepi. Setelah acara lempar bunga beberapa jam lalu dan kebetulan Agni yang mendapatkan bunga itu, ia pun memutuskan untuk menyendiri di balkon. Sumpek juga lama-lama berada di tengah keramaian.

            “Udah kebelet ya?” tanya Cakka melirik kearah buket yang berada dalam genggaman Agni dan menatap gadis itu dengan sorot mata jahil.

            “Eh?” dengan gerakkan cepat Agni menyembunyikan buketnya di balik punggung. “Tadi itu iseng ikutan aja kok. Gak ada ambisi buat mikirin itu. lagian, aku juga baru tamat sekolah,” ucap Agni dan kini menatap buket di tangannya sambil tersenyum.

            “Ini! Buat kamu aja,” seru Agni sesaat kemudian sembari menyodorkan buket bunganya ke arah Cakka. Cakka tampak menaikkan satu alisnya dan menatap Agni heran.

            “Buat aku?” tanya Cakka. Tangannya terulur perlahan untuk meraih buket bunga tersebut. “Kan kamu yang udah susah-susah dapetinnya, kok kasihin ke aku sih?” Cakka menatap lurus manik mata Agni.

            “Kamu lebih butuh ini dari pada aku. Nanti, kalau kamu udah menemukan seseorang yang pas di hati kamu, kamu boleh balikin bunganya sama aku,” terang Agni dengan wajah yang tampak berbinar.

            Cakka tersneyum manis. Ia yakin atas pilihannya kali ini, dan ia tak akan salah lagi. Tanpa ragu Cakka menerima buket bunga itu dan menghirup aromanya selama beberapa detik. Agni merasakan sesuatu seakan menusuk dadanya. Sepertinya memang kontrak yang di tuliskan takdir untuk mereka hanya sebatas guru dan mantan murid, untuk lebih dari itu, sepertinya tidak akan mungkin.

            Agni memutar tubuhnya perlahan. Berniat beranjak dan pergi menjauh dari hadapan Cakka detik itu juga.

            “Agni!” Agni menghentikan langkahnya. Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat dan perlahan sepasang tangan kekar merengkuh pundaknya dan menghadapkan tubuh mungilnya ke arah Cakka –kembali.

            “Ini, aku kembalikan!” Cakka menyodorkan kembali bunga tersebut pada Agni. agni tampak menaikkan satu alisnya dan menatap Cakka dengan dahi mengerut. “Aku sudah menemukan gadis itu,” ucap Cakka dengan wajah dan pancaran mata yang berbinar. Agni memaksakan diri menarik sudut bibirnya, namun mustahil, ia hanya tampak meringis dan akhirnya menundukkan kepalanya menatap buket bunga yang kini sudah kembali dalam genggamannya.

            “Dan sekarang…. Gadis itu tengah berdiri tepat di hadapan aku,”

            Agni mengangkat wajahnya dengan cepat. Kedua matanya tampak melebar dan menatap Cakka dengan sorot mata tak percaya.

            “Ma –maksud kamu?”

            Cakka menggerakkan tangan kanannya dan mengelus lembut pipi chubby Agni. “would you marry me?” tanya Cakka pelan, penuh penekan. Mendadak Agni merasakan sesuatu seakan menyetrumnya. Kakinya terasa lemas dan perutnya mendadak mulas.

            “Bapak gak sedang bercanda kan?” Agni nyaris berteriak. Shyok. Mataya mengerjab lucu dan kepalanya menggeleng kecil. Cakka terkikik geli melihat reaksi Agni. semakin ia eratkan cengkramannya di lengan Agni dan menarik gadis itu sampai menempel kembali padanya.

            “Aku Cuma lebih tua 4 tahun di atas aku. So, pleaseeee, berhenti panggil aku dengan sebutan itu,” ucap Cakka dan menatap tepat manik mata Agni. “Dan…. Aku serius. Aku sayang sama kamu, dan aku sedang melamar kamu sekarang,” lanjut Cakka dan kini mendekatkan wajahnya pada Agni perlahan.

            “Oke. Aku terima!” seru Agni dan dengan cepat menutup mulutnya dengan kedua tangan. Cakka menatap Agni dengan ekspresi jahil detik kemudian ia pun merengkuh tubuh mungil Agni seerat mungkin.

            “I love you,” bisik Cakka tepat di telinga Agni. Agni tertawa pelan dalam dekapan Cakka dan dengan erat membalas pelukkan Cakka.

            “I love you too,”

            ---

“Yesss, akhirnyaaaa. Gue pernah ngomong soal karma belum, Va sama lo?” ucap dan tanya Ify menatap Nova yang saat itu berdiri di sampingnya masih menatap ke arah balkon dengan senyum merekah. Nova menggeleng, menggerakkan kepalanya pelan masih dengan ekspresi bahagia.

            “Belum. Emang kenapa?” tanya Nova.

            “Nah, contoh nyata dari teori karma itu adalah Agni. masih ingat gak, waktu itu dia sempet ngomong kalau mustahil dia bisa jatuh cinta sama Pak Cakka?”

            Nova mengangguk antusian.

            “And see? Kenyataannya?” tanya Ify sambil menunjuk ke arah balkon dengan tampang berseri dan kini membuat Nova, Shilla dan juga Riko yang berdiri di sampingnya tertawa bersamaan.

_FIN_

Lohaaaaa. Enjoy read guesss? Pasti gak deh yah? Hahaha, harap maklum, emang kalo penulis amatir begini lah keadaannya. Mencoba lebih baik eeh tapi hasilnya malas selalu lebih jelek -___- *plak* . and gue sadar banget ini feelnya kurang guys. Huhu. but, I hope like it yah all. And one more, don’t be silince reader’s okey? Yang baca MINIMAL likenya dong yah ;)


@Cluvers_Agniaza