“Lo itu manusia paling menyebalkan yang gue kenal. Dan sumpah demi langit dan bumi gue berharap lo menghilang dari hadapan gue kalau bisa dari muka bumi sekalian!!!”
---
“Gue… gue… bakal kabulin…. Permintaan lo…” suaranya tercekat. Napasnya terdengar putus-putus. Jemarinya yang terasa dingin menggenggam erat jemari lentikku. Sesuatu terasa menyayat relung hatiku. Kepala ku mendadak pusing saat melihat begitu banyak cairan merah pekat yang keluar dari mulutnya.
“Cakka, please, lo jangan ngomong macem-macem. Lo tahan!” rancuku semakin menguatkan pelukkanku di tubuh kekar Cakka yang mulai menggigil. Cakka menggeleng lemah, sambil tangan kanannya bergerak pelan dan mengelus lembut pipi kananku. Ia tersenyum manis. sebuah senyuman yang baru pertama kali ia perlihatkan dan jujur membuat perasaanku menjadi tak menentu.
“Gak usah… gue udah baikkan kok,” ucapnya terbata. Tangannya semakin terasa dingin dan perlahan terkulai lemas. Mata hitamnya pun pelan-pelan mengatup rapat.
“Cakkaaaa. Cakkaaaa bangun Cakkaaa,”
---
“Cakkaaaaa. Lo apa-apaan sih. Lo tau gak , gue udah capek nempelin brosur ini dari lantai 3 sampai sini, dan lo dengan seenak jidat malah nyabutin gitu aja. Lo itu punya perasaan gak sih?” aku berteriak nyaring tepat di depan wajah Cakka. Pemuda yang paling di gilai seluruh teman satu sekolah dan yang pasti sangat aku benci sepanjang masa SMAku.
Cowok super nyebelin itu tertawa puas sambil mengibaskan brosur di tangannya dan tanpa rasa bersalah melenggang dengan santai meninggalkanku yang masih terlihat kesal.
“Cakkaaaaa!” Aku menggeram sembari menatap punggung Cakka yang semakin menjauh dengan tatapan kesal.
::
“Cakka ikut pemilihan ketua OSIS!” seru Ify dan Nova sembari menghempaskan beberapa brosur di atas mejaku. Ku raih lembaran-lembaran kertas itu dan menatapnya dengan mata terbelalak.
Sialan. Kemarin cowok itu bilang tidak berminat dengan acara beginian. Sekarang, setelah aku menyebar brosur tanpa mempersiapkan progja dan beberapa materi untuk orasi, cowok sialan itu malah sudah menyebarkan brosur lengkap dengan progja-progja yang akan ia jalankan setahun kedepan.
“Errrgh. Si Cakka maunya apaan sih!” seruku kesal dan dengan penuh emosi bangkit dari posisi dudukku dan segera saja berlari menuju lapangan indor.
::
“Weiitts, apaan nih !” Cakka berseru dengan gayanya yang selengekan saat beberapa lembar brosur yang ku lempar mendarat di wajahnya. Aku berdecis pelan sambil melipat kedua tanganku di depan dada dan menatapnya tajam.
“Lo udah curang. Lo gak fair kalau begini caranya. Lo harus berperang dengan cara sportif dong,” aku berseru marah sembari menunjuk kasar wajah Cakka. Cowok nyebelin dan kedua sahabatnya tampak tertawa dan memandangku seolah meremehkan.
“Hahaha. Kalau lo udah ngerasa hebat, seharusnya lo nyantai aja dong ngadepin bocah amatir kayak gue,”ucap Cakka masih dengan nada suara meremehkan.
::
“Cowok nyebelin. Kenapa coba di muka bumi ini ada sih anak kayak dia nyebelinnya itu!” aku mendumel tak karuan sambil mengoes sepedaku menelusuri perkomplekan sekolah. Seminggu ini tingkat kebeteanku meningkat drastis gara-gara si cowok tengik itu. selalu saja dia melakukan sesuatu yang benar-benar sukses membuat emosiku meluap tak karuan.
Tiiiiiin.
Aku terlonjak kaget, saat lengkingan klakson tiba-tiba saja menyerang pendengaranku. Belum siap aku menghentikan laju sepedaku sebuah mobil sport dengan seenaknya dan tanpa perasaan melaju dengan santainya dan menyerempet ban belakang sepedaku.
“HEYYYYY!” teriakku berang ketika tubuhku terhuyung dan terjerembab di aspal. Gila, ini orang gak ada perasaan banget apa sih, sengaja nyerempet orang begitu.
“Lo baru belajar naik sepeda yah?”
Ku angkat kepalaku secepat mungkin dan seketika aku melotot garang saat melihat cowok super nyebelin itu kini sudah berdiri di hadapanku sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan tertawa pelan.
“Dasar cowok gila. Lo mau bunuh gue, huh?” seruku. Bukannya meminta maaf, cowok sialan itu malah terkikik kayak kutil anak kelaparan. “Ihhh, emang gila lo yah,” ucapku dan berusaha bangkit dari posisi jatuh(?)ku.
“Auuuh!” ringisku pelan. Buseeet, sakit banget ini kaki. Keluhku dalam hati dan seketika mata beningku melotot lebar saat darah segar mengalir dari lutut kananku. Detik kemudian ku lihat wajah super nyebelin itu mendadak panik dan langsung berjongkok untuk melihat lukaku.
“Lo gak papa?” tanyanya yang mendadak cemas membuat dahiku tampak mengerut.
“Masih nanya lagi lo. Liat noh!” seruku geram dan menyodorkan lututku tepat di depan wajahnya.
“Sini, gue anterin lo pulang deh,” ucapnya dan tanpa menunggu persetujuan dariku langsung saja ia membopongku menuju mobil sportnya.
::
“Lo tunggu sebentar, gue ambilin obat merah dulu di dalam,” ucapnya dan dengan sigap ia berlari menuju salah satu kamar. Ku edarkan pandanganku keseluruh penjuru ruangan. Rumahnya cukup besar, dan terlihat sepi.
“Sini!” aku terlonjak kaget saat tiba-tiba saja Cakka menarik kakiku dan meletakkannya di atas meja.
“Lo emang sodaranya kunti yah, datang suka tiba-tiba. terus ini… narik kaki gue gak berperasaan banget. Tau gak lo ini sakitnya triple buanget,” ocehku menatap Cakka kesal. Cowok nyebelin itu hanya tersenyum simpul sambil menggeleng kecil dan mulai sibuk membersihkan luka di kakiku.
Aku diam sejenak. Memandang wajah Cakka yang saat itu terlihat serius lekat-lekat. Aku baru sadar, ternyata cowok super tengil ini begitu tampan dan ternyata memiliki sisi baik juga.
“Gue ganteng ya?” tanyanya masih fokus dengan luka di kakiku. Aku tampak gelagapan sambil mengalihkan perhatianku ke arah lain dan menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal sama sekali.
“Iggh, geer banget lo,” gumamku seadaanya. Ia hanya terkikik sambil meniup-niup lukaku dan menempelkan plaster di sana.
Kemudian ia mengangkat wajahnya dan di saat yang bersamaan aku pun tengah memandang tepat wajahnya. Gawat. Sedikit pun aku tak lagi bisa bergerak. Pandangannya seakan mengunciku. Sebuah seringai terlihat jelas di sudut bibirnya. Perlahan ku rasakan tubuhnya bergerak maju mendekat ke arahku dan satu tanganya seperti menahan punggung belakangku.
Ku teguk ludah dengan sukar dan entah bagaimana aku malah memilih mengatupkan kedua mataku serapat mungkin sambil berusaha memundurkan badanku. Namun mustahil, karena kini satu tangan Cakka yang lain sudah berada di pipiku dan saat itu kurasaan sesuatu yang hangat menyentuh kulit bibirku.
::
“Agni, lo harus ke mading sekarang! Ayo cepatan!” seru Nova dan Ify dan dengan sigap kedua sahabatku itu menarik lenganku begitu saja.
“Apaan sih?” tanya ku bingung saat langkah-langkah Nova dan Ify terasa semakin cepat.
“Lo lihat!” seru Ify sambil menunjuk ke arah mading saat kami tiba di tengah kerumunan orang ramai. Perlahan ku angkat wajahku dan menyelundup masuk untuk melihat dengan jelas apa yang tertempel di sana. Seketika bola mataku membulat lebar, mataku mendadak perih dan dengan emosi yang meluap ku tari foto-foto sialan itu dari papan mading dengan sekali sentakkan.
::
“Kamu di diskualifikasi. Dan ini, surat skorsing kamu. perbuatan kamu itu sangat memalukan sekali Agni. dan sebagai calon ketua OSIS tidak seharusnya kamu berbuat seperti itu,” ucap Bu Zahra selaku kepala sekolah sukses membuat perasaanku hancur. Aku merasa begitu rendah karena di angkap telah sengaja melakukan perbuatan itu.
“Sekarang kamu keluar,” seru bu Zahra dingin. Aku hanya mampu menunduk dan dengan langkah gontai keluar dari ruangan kepala sekolah.
---
Plakk. Satu buah tamparan bendarat di pipi putih Cakka. Dengan tatapan membunuh ku tantang kedua mata hitam cowok super nyebelin di hadapanku ini.
“Lo itu manusia paling menyebalkan yang gue kenal. Dan sumpah demi langit dan bumi gue berharap lo menghilang dari hadapan gue kalau bisa dari muka bumi sekalian!!!”teriak ku tepat di depan wajah Cakka. Kemarahanku sudah mencapai ubun-ubun. Cowok ini sudah sangat keterlaluan.
“Gue terima ya, Kka, lo usilin selama ini. Bahkan lo nyakitin gue sekali pun gue terima itu. tapi cara lo kali ini udah keterlaluan. Lo udah mempermaluin gue, dan lo udah ngejatuhin harga diri gue. Lo udah buat gue kayak sampah. Lo jahat banget sih, Kka,” ucapku yang mulai terisak sambil memukul sekuat mungkin dada bidang Cakka. Ku lihat ia sedikit meringis, tapi tidak sedikit pun ku perdulikan dan semakin gencar aku manyerangnya.
“Gue minta maaf, Ag. Gue minta maaf,” ia berusaha menahan pukulanku dan dengan sigap memutar tubuhku dan memeluknya dari belakang. Aku berusaha memberontak, namun ia semakin erat melingkarkan kedua lengannya di dadaku.
“Gue benci sama looo. Gue gak tau gue ada salah apa sama lo. Lo tega banget sih sama gueeee,” aku merancu sambil terus memukul lengan kekar Cakka dan saat itu kurasakan kecupan yang terasa hangat mendarat di puncak kepalaku.
::
“Ag, gue gak bakal pulang sebelum lo keluar. Gue Cuma mau minta maaf sama lo, Ag. Gue tau gue salah. Gue udah keterlaluan sama lo. Gue minta maaf, Ag. Please. Gue mohon maafin gue,”
Dengan kasar ku tutup tirai jendela kamarku dan berlari menuju kasur. Tak perdulikan teriakan Cakka dan suara hujan yang semakin deras di luar sana. Hati dan perasaanku terlanjur sakit akibat ulah laki-laki itu. karena dia, namaku jadi jelek dan semua guru memandangku seolah aku ini virus. Intinya, kebencianku sudah mencapai level tertinggi dan aku tak lagi sudi bertemu dengan laki-laki itu. biarkan saja dia. Kalau perlu sampai mati tersambar petir dan itu pasti akan membuat kehidupanku jauh lebih baik.
::
“Ag, bu Zahra manggil lo tuh!” seru Nova saat baru saja ku jatuhkan pantatku di atas kursi. Ada masalah apa lagi sih? Perasaan seminggu ini aku mendekam di rumah karena skors.
“Kenapa?” tanyaku dengan dahi mengerut. Nova tampak menggeleng pelan dan sepertinya ia pun tak mengetahui alasan Bu Zahra memanggilku karena apa. Dan akhirnya, dengan perasaan yang berdebar aku pun memutuskan untuk ke kantor kepala sekolah.
::
“Lo ngeliat Cakka gak?” tanyaku pada salah seorang murid setelah aku selesai dengan bu Zahra beberapa saat lalu di ruangannya. Siswa itu tampak menggeleng pelan dan menatapku dengan tatapan menyesal.
Aku pun mengangguk dan tersenyum mengerti kemudian kembali berjalan menelusuri koridor mencari sosok Cakka.
“Ibu sudah tau masalah yang sebenarnya seperti apa. Kemarin Cakka mendatangi ibu, dan dia menceritakan semuanya. Maaf sudah berfikir yang macam-macam soal kamu, Ag. Dan ini, Cakka menyerahkan jabatannya sebagai ketua OSIS pada kamu.”
‘Lo dimana sih Cakka?’
Bukkk. “Auuuh. Rayyyy, lo jalan hati-hati dong,” dumel ku kesal saat Ray tiba-tiba saja nongol dari ujung koridor dan menabrakku begitu saja. Cowok imut itu menyeringai tampa dosa dan mengulurkan tangannya membantuku berdiri.
“Lo tuh yang matanya kemana? Mikirin apaan sih, Ag? Jalan meleng begitu,” tanya dan ucap Ray sambil menepuk pelan lenganku.
“Gue nyariin Cakka. Lo ada lihat dia gak?” tanya ku akhirnya. Ray tampak menyipitkan matanya memandangku dan seulas senyum jahil tercetak di wajahnya.
“Please deh Ray, gak usah mikir yang macem-macem. Gue ada perlu sama temen lo,” ucapku sebal. Ray pun terkikik kecil kemudian mengangguk-angguk mengerti.
“Cakka sakit. So, hari ini dia gak masuk,” jawab Ray seadanya.
“sakit?” tanyaku ragu. Ray pun tampak mengangguk-angguk kembali.
---
“Cakka!” seruku saat melihat sosok Cakka yang pagi itu berjalan menelusuri koridor.kemarin di saat mampir di rumahnya, kata pembantunya Cakka dan keluarga lagi keluar kota,. Sedikit heran. Bukannya dia sakit yah? Tapi kok malah pergi keluar kota gitu sih? Ah bodo deh, itu mah urusan keluarganya.
“Cakkaaa!” panggilku sekali lagi. Cakka menoleh dan saat itu baru kusadari bahwa wajah Cakka kali ini terlihat begitu pucat.
“Kenapa, Ag?” tanyanya dengan suara yang begitu terdengar lirih. Mendadak aku menatapnya cemas dan perlahan berjalan menghampirinya.
“Gimana keadaan lo, udah baikan?” tanyaku basa-basi. Cakka tersenyum manis dan mengangguk kecil. Tanpa sadar aku menghela napas lega. “Emmm. Cakka, makasih ya, lo udah mau jelasin masalah sebenarnya sama bu Zahra. Dan gue minta maaf, karena gara-gara gue, lo sampai sakit kayak gini,” terangku akhirnya. Cakka mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk dan menatap tepat manik mataku lekat.
Cakka tersenyum sangat manis. “Gue yang seharusnya minta maaf sama lo, Ag. Sumpah gue ngerasa gue memang jahat banget jadi cowok,” ucap Cakka tulus sambill mengacak pelan rambut lebatnya. Wajah tengilnya tak lagi terlihat.
“Lo emang cowok jahat tau gak sih,” gumamku sembari menoyor pelan perut Cakka.
“Auuuh!” Cakka meringis. Wajahnya terlihat semakin pucat.
“Eh? Sorry, Kka. Gue gak sengaja. Lo masih sakit?” tanyaku panik dan merangkulkan lenganku di lengan kanan Cakka. Sedetik kemudian ia tersenyum cerah dan melepaskan rangkulanku di lengannya dan berusaha berdiri tegak.
“Apaan sih lo? Gue Cuma bercanda lagi,” serunya sembari tertawa dan mengacak pelan puncak kepalaku. Aku pun hanya tersenyum tipis menanggapi dan memandang lekat wajah pucat Cakka. Ia masih tersenyum, namun samar terlihat kerutan kecil di dahinya dan ia tampak seperti meringis.
::
“Siapa sih?” seruku sambil menepuk pelan punggung tangan yang menutupi kedua mataku. Sedetik kemudian terdengar suara tawa itu dan perlahan kedua tangannya terlepas dari mataku dan mengacak pelan puncak kepalaku.
“Isssh, Cakka lo masih rese aja sihhhh,” keluhku sambil membenarkan beberapa helai anak rambutku yang mulai berantakkan. Cakka cekikikkan dan dengan seenaknya menarik begitu saja karet rambut yang menyanggul asal rambut panjangku. “Cakkaaaaa!” teriakku dan langsung saja mengejar Cakka yang sudah lebih dulu berlari keluar kelas. Yaampun, ini anak kok jahilnya gak ngilang sih.
::
“Pulang bareng gue yuk, Ag!” seru Cakka dari dalam mobilnya. Ku lirik sepeda yang tengah kunaiki dan Cakka yang duduk di balik setiurnya bergantian.
“Sepeda gue?” tanyaku. Cakka tampak berfikir, kemudian ia tersenyum cerah dan dengan gesit memarkirkan mobil mewahnya di bawah pohon tak jauh dari gedung sekolah, semenit kemudian berjalan menghampiriku.
“Kita naik sepeda lo aja!” ucapnya dengan wajah berbinar. Wajahku menatapnya dengan tampang cengo’. “Igh, lo kesambet apaan?” tanyaku dengan dahi berkedut. Cakka nyengir. Dan dengan senak jidat menarik lenganku hingga aku hengkang dari atas sepedaku.
“Ayo naik!” serunya yang kini sudah duduk manis di atas fixieku.
“Emang lo bisa naik sepeda?” tanyaku dengan tampang bodoh. Ku lihat wajah Cakka mendadak gemas dan dengan sigap ia menarik lenganku hingga aku jatuh terduduk di atas besi di antara kursi tempat ia duduk dan stank.
“Eh buseeeet, pantat gue sakit dodol!” seruku sembari menoyor pelan lengan Cakka. Cakka hanya terkikik geli dan pelan-pelan ia mulai menggoes sepedanya.
“Huaaa. Lo hebat juga yah goesnya,” ucapku sambi sesekali melirik wajah Cakka yang berada tepat di atas kepalaku. Mendadak jantungku berdetak seratus kali lebih cepat saat menyadari punggungku menempel sempurna di dada bidangnya. Aaaa. Demi langit dan bumi beserta seluruh alam, aroma tubuh Cakka benar-benar teras sampai kehidung. Kalau begini ceritanya, aku rela banget deh jarak rumahnya nambah berkilo-kilo meter lagi.
“Ag, mampir ke taman dulu yuk!” seru Cakka sesaat kemudian.
“Ngapain?” tanya ku setengah berteriak sambil membenarkan rambutku yang mulai berterbangkan terkena tiupan angin.
“Nongkrong. Gue udah lama banget nih gak nonkrong. Ayo dog, Ag, mau yah?” ajak Cakka antusias. Aku masih tampak berfikir tak lama akhirnya pun mengangguk semangat.
::
Aku menatap lekat wajah Cakka. Cowok di sampingnku ini benar-benar begitu menggemaskan. Terlihat berbeda dari dirinya yang biasa kulihat di sekolah. Dengan gerakkan lucu Cakka menjilati ice cream di tangannya membuat sedikit cream berwarna merah muda itu menempel di sudut bibirnya.
“Lo makan ice kayak anak bayi deh,” komentarku sambil membersihkan noda icecream di sudut bibirnya. Cakka hanya tersenyum simpul dan dengan nikmat kembali menjilati ice miliknya.
“Lo tau gak sih, Ag. Gue dari dulu pengen banget jalan begini sama lo,” ucap Cakka sedetik kemudian dan nyaris membuatku tersedak corn ice cream yang kini tengah aku nikmat. Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan mata menyipit.
Cakka tampak tersenyum. “Lo mau tau gak, kenapa gue seneng banget jahilin lo?” tanya Cakka dan kali ini menatap lekat tepat di manik mataku. Aku membalas tatapannya dan mengangguk kecil.
“Itu karena… uhuk,” ucapannya terpotong karena tiba-tiba ia seperti menahan sakit di dadanya.
“Lo gak papa, Kka?” tanyaku panik dan menyodorkan sebotol mineral ke arahnya. Cepat-cepat ia meraihnya dan meneguk isinya hingga setengah.
“Ehhmmm, gimana kalau besok kita jalan lagi? Gue bakal kasih tau semua alasan, kenapa gue bersikap kayak gitu sama lo. Gimana?” tanya Cakka dan menatap manik mataku semakin dalam. Aku ragu sejenak. Tampak berfikir keras. Apa penting alasan itu untukku? Buat apa? Tapi… aku menggigit bibir bawahku dalam. Kini giliranku menatap wajah Cakka lekat dan untuk kesekian kalinya kusadari wajah cerah Cakka terlihat begitu pucat.
“Cakka… lo sakit?” tanyaku hati-hati dan menyentuh pelan pipinya. Ia tersenyum manis sambil meraih tanganku yang menempel di wajahnya, menggenggamnya erat dan menggeleng kecil.
“Gimana?” tanyanya lagi. Dan kali ini, tampa ragu aku pun mengangguk pasti.
----
Mendadak aku merasakan persaanku berbunga. Dengan gesit aku bergerak di depan cermin sambil mematut diri. Dress? Oke. Rambut? Oke. Sepatu? Oke. Make up? Juga oke. Sip! Akhirnya semua beres dan siap melesat kelantai bawah menemui seseorang yang entah mengapa tiba-tiba saja menjadi penting di hatiku.
“Sorry, gue lama yah?” ucapku agak canggung. Ia menatapku begitu intens dari ujung kaki sampai ujung kepala bergantian dan perlahan mendekat ke arahku.
“Lo cantik banget,” pujinya. “Ini buat lo!” serunya kemudian dan menyodorkan sebuket bunga lili putih ke arahku. Bunga yang sangat amat aku sukai. Dari mana dia tau?
“Ya ampun! Makasih banget yah, Kka,” ucapku sambil menghirup sekilas aroma bunga itu dan berlari menuju dapur, meletakkan bunga tersebut ke dalam vas terlebih dahulu dan kembali menghampiri Cakka yang masih berdiri gagah di ruang tengah rumahku.
“Kita berangkat sekarang?” tawar Cakka sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Ku tatap uluran tangannya sembari tersenyum dan dengan antusias meraihnya.
“Lest’s go!” seruku penuh semangat.
---
Hari ini aku merasa begitu bahagia. Cakka benar-benar jauh berbeda. Tidak lagi tengil, nyebelin dan yang tentunya tidak lagi rese. Ia memperlakukanku dengan sangat baik. Saat makan siang saja, dia dengan santun menarikkan kursi untukku dan memesankan makannya yang layak. Dia seperti tau seleraku. Selesai makan, dia mengjakku nonton. Film yang ia pilih pun sangat bagus. Cerita tentang romantika remaja namun tidak lari dari pesan moral yang mendidik.
Paling tidak habis pikir, setelah nonton Cakka malah mengajakku untuk foto box. Dia benar-benar cowok yang unik. Segala macam gaya sukses ia tampilkan. Tidak hanya berhenti di situ, selesai berfoto Cakka pun dengan penuh semangat menarikku ke sebuah timezone. Dengan semangat ia memainkan segala jenis permainan di sana. Aku hanya memandangnya geli sembari tersenyum dan terus saja berdiri di sampingnya.
“Kita ke pantai yuk!” seru Cakka sesaat kemudian sambil menganyunkan genggaman tangannya dan menatap wajahku.
“Ke pantai?” tanyaku ragu sembari melirik arlogi yang melingkar di pergelangan kiriku. Ia mengangguk semangat dan kini membungkus tangan mungilku dengan kedua telapak tangannya. “Tapi kan udah jam 4, mau ngapain di pantai?” ucap dan tanyaku bingung.
“Gue pengen lihat sunset bareng orang yang gue sayang,” ucap Cakka dan kontan membuatku kembali menatapnya.
“Ma –maksud lo?”
“Udah ayo! Lo juga belum denger alasan gue tentang ke usilan gue selama ini kan?” seru dan tanyanya. Aku pun hanya mengangguk kecil. “Makanya ayo, sebelum semua terlambat,”
---
Cakka menjatuhkan tubuhnya tepat di sampingku sambil menatap langit luas di atas nya dengan wajah berbinar. Saat ini kami sudah sampai di tepi pantai dan Cakka membaringkan tubuhnya di sana.
“So, apa alasan lo ngusili gue selama ini?” tanyaku langsung sembari melempar tatapan lurus ke arah laut. Cakka berdehem pelan dan bangkit dari posisi rebahannya kini memeluk kedua lututnya erat.
“Mungkin alasan gue terlalu bodoh untuk lo gertiin. Tapi semua itu gue lakuin Cuma karena lo, Ag,” ucap Cakka dan kini menoleh ke arahku. Ku tatap wajah putih Cakka dengan dahi mengerut.
“Gue memang gak ngerti maksud lo,” ucapku polos. Cakka terkikik geli sambil mengacak pelan puncak kepalaku.
“Gue sayang sama lo, Ag. Gue gak tau gimana caranya supaya lo sadar tentang keberadaan gue, makanya gue ngelakuin semua itu sama lo,” terang Cakka yang kontan membuat kedua mataku membulat lebar.
“Apa? Lo…”
Cakka meraih jemariku dan menggenggamnya erat. semenit kemudian mengecupnya lembut membuatku semakin tersentak kaget.
“Tapi gue sadar, Ag. Gue sadar, kalau gue memang gak seharusnya jatuh cinta sama cewek sehebat lo,” ucap Cakka yang kini raut wajahnya mendadak sendu. Dahiku mulai tampak mengerut.
“Kka, lo tau? Gue juga sayang sama lo,” ucap ku akhirnya dan menggerakkan satu tanganku mengelus lembut pipi putih Cakka yang kini terasa begitu dingin. Cakka tersenyum tipis. Ia lepaskan rengkuhanku di wajahnya dan perlahan ia bangkit berdiri.
“Gue gak pantas buat lo, Ag. Lo benar. Gue seharusnya menghilang dari hadapan lo. Gak seharusnya gue nyeret lo sampai sejauh ini,” terang Cakka dan benar-benar membuat dada ku mendadak sesak. Ku perhatikan punggung Cakka yang berdiri di hadapanku lekat. Perlahan tubuh itu tampak bergetar dan dalam hitungan detik jatuh terjerembat di atas pasir.
“Cakkaaa!” pekikku tertahan dan segera berlari menghampiri Cakka. Dengan sigap ku rengkuh tubuh kekarnya dan memanggku kepalanya di atas pahaku. Aku tercekat, saat tiba-tiba mulut Cakka terlihat di penuhi dengan cairan berwarna merah. Seingatku, Cakka tidak meminum-minuman berwarna selain air mineral.
“Cakka? Cakka lo kenapa?” tanyak ku panik sambil dengan tangan gemetar menahan laju darah yang keluar semakin banyak dari mulut Cakka. Mataku mulai terasa perih. Dadaku semakin sesak dan tak lama satu demi satu airmata itu mengalir deras di wajahku.
“Gue… gue… bakal kabulin…. Permintaan lo…” suaranya tercekat. Napasnya terdengar putus-putus. Jemarinya yang terasa dingin menggenggam erat jemari lentikku. Sesuatu terasa menyayat relung hatiku. Kepala ku mendadak pusing saat melihat begitu banyak cairan merah pekat yang keluar dari mulutnya.
“Cakka, please, lo jangan ngomong macem-macem. Lo tahan,!” rancuku semakin menguatkan pelukkanku di tubuh kekar Cakka yang mulai menggigil. Cakka menggeleng lemah, sambil tangan kanannya bergerak pelan dan mengelus lembut pipi kananku. Ia tersenyum manis. sebuah senyuman yang baru pertama kali ia perlihatkan dan jujur membuat perasaanku menjadi tak menentu.
“Gak usah… gue udah baikkan kok,” ucapnya terbata. Tangannya semakin terasa dingin dan perlahan terkulai lemas. Mata hitamnya pun pelan-pelan mengatup rapat.
“Cakkaaaa. Cakkaaaa bangun Cakkaaa,”
---
Aku berdiri mematung dengan tubuh gemetar di samping pintu ruang ICU. Suara Ify dan Nova yag sedari tadi terdengar mencoba menenangkanku tak dapat lagi ku dengar. Kulihat tante Lea dan Om Danar orang tua Cakka pun terlihat begitu sedih dan terpukul. Tante Lea menangis sesenggukkan dalam pelukan suaminya. Hatiku miris. Aku masih belum mengerti apa yang tengah terjadi dengan Cakka.
Tak lama seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU sambil membuka masker dan sarung tangannya dengan gerakkan lambat. Ekspresi itu selalu ku benci setiap saat aku menonton siaran televisi yang nantinya akan mengabarkan kabar yang buruk untuk keluarga pasien. Aku tak berani mendekat. Dan perlahan jatuh meluruh di lantai sambil memeluk kedua lututku erat.
“Ag? Lo jangan gini dong, itu dokternya udah keluar. Mending kita tanya sekarang, ayo!” seru Ify dan berusaha menarik lenganku. Aku menggeeng kuat sambil emnepis kasar lengan Ify dan mengeratkan pelukkan di lututku.
“Maaf bu,” ucap sang dokter. Samar-samarku lihat dokter tersebut menggeleng. Dadaku terasa semakin sesak dan dengan gerakkan cepat ku angkat kedua tanganku menetupi telinga serapat mungkin sembari menggeleng kuat.
“Anak ibu tidak bisa kami selamatkan. Semuanya terlambat. Hatinya sudah rusak dan seharusnya dari beberapa bulan yang lalu kita melakukan trasplantasi secepatnya,” ucapan sang dokter kontan membuat Tante Lea pingsan seketika. Wanita itu terjatuh dalam pelukan sang suami. Dan aku? Kedua tanganku bergetar hebat dan perlahan terlepas dari masing-masing telingaku. Isakkan ku terdengar pelan, dan lama-lama semakin nyaring.
---
Air mata itu tak hentinya mengalir. Ini sudah hari ketujuh. Dan hari ini aku tengah berada di tepi pantai, tempat terakhir kalinya aku bisa melihat Cakka dan mendengarkan suaranya. Disini lah ia terbaring dalam pangkuanku.
Aku jatuh terduduk di atas pasir sambil memeluk sebuah kotak pemberian Ray seminggu lalu. Ray bilang, ini adalah titip Cakka. Dan dia sudah mempersiapkan kotak ini jauh hari sebelumnya. Dengan kedua tangan yang masih terasa bergetar kubuka kotak berwarna ungu itu perlahan.
Aku diam sejenak menatap beberapa lembar kertas di sana dan seketika mata beningku membulat lebar saat melihat beberapa lembar fotoku di sana. Foto dari saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini saat MOS, begitu pula dengan Cakka. ku raih salah satu foto dan ku lihat sebuah catatan kecil tertulis di belakangnya.
Lo itu cantik banget sih. Mau di dandanin kayak begimana juga tetep aja cantik ^_^
Ku tahan suara isakkanku dengan tangan kananku. Kemudian kuraih amplop satu-satunya di dalam tumpukkan foto, kertas dan beberapa benda di dalam kotak tersebut dan membukanya hati-hati.
Dear Agni,
Hai, Ag. Mungkin saat lo baca surat ini, gue udah gak ada lagi di hadapan lo. Sesuai permintaan lo. Hehehe. Melalui surat ini, gue pengen minta maaf, Ag, sama lo. Gue tau gue jahat banget karena udah nempelin foto sialan itu di mading. Tapi waktu itu gue gak punya niat jahat sedikit pun sama lo, Ag. Waktu itu, gue Cuma mau lo selalu merhatiin gue. Gue tau cara gue salah. Tapi Cuma dengan cara kayak gini yang bisa gue lakuin.
Gue gak bisa bersikap manis sama lo. Gue takut. Gue gak mau sampai lo juga ikutan suka sama gue. Hehehe. Geer yah gue? Tapi hal seperti ini emang harus gue antisipasi, Ag. Gue! Cakka Ferian. Cowok paling nyebelin dan yang paling lo benci satu sekolah mengidap penyakit yang sewaktu-waktu bisa ngerenggut nyawa gue.
Kanker hati. Dan ini udah akut. Seharusnya gue harus udah dapatin donor jauh sebelum penyakit gue semakin ganas. Tapi gue gak mau ah, Ag. Gue gak mau buat orang tua gue susah. Gue tau sih orang tua gue mampu, tapi untuk ngebeli hati itu harganya mahal banget Ag. Gue denger dari temen bokap gue yang keluarganya mengidap sakit yang sama kayak gue, mereka sampai ada yang jual rumah dan perusahaan. Gue gak mau Cuma gara-gara gue orang tua gue jadi susah nantinya. Kok gue jadi curhat yah sama lo? Hehehe. Yang jelas Ag, gue itu sayang banget sama lo. Gue udah jatuh cinta sama lo dari pertama kali gue ngelihat lo.
And, inilah alasan gue kenapa gue selalu ngusili lo sampai bikin lo kesel. Gue Cuma mau lo ngelihat gue, Ag. Tanpa lo harus jatuh cinta sama gue dan nantinya bakal bikin lo sakit. Egois yah gue? Tapi Cuma ini cara satu-satunya supaya lo tetap bisa tersenyum walau nanti gue menghilang dari muka bumi, karena gue Cuma cowok nyebelin yang selalu ngusil itu.
Huhhh. Sekian surat dari gue ya, Ag. Gue Cuma sanggup nulis segini doang. Dokternya cerewet banget udah nyuruhin gue istirahat mulu dari tadi. Oke. Semoga hari-hari lo menyenangkan seminggu ini gak lihat gue di sekolah :D hehehe dan mungki, seterusnya juga akan begitu.
_with love, Cakka_
“Lo emang egois Cakka. lo egoiiiiiiis. Lo Cuma mikirin perasaan lo tampa lo mikir gimana perasaan gue!” teriaku sembari menatap penuh kesedihan surat yang kini sudah basah dalam pangkuanku. Ku hempaskan kotak di atas pahaku di atas pasir dan dengan langkah frustasi aku berlari mendekati bibir pantai. Dapat kurasakan air yang begitu dingin menampar pelan kakiku.
“LO EMANG COWOK PALING JAHAT DI DUNIA CAKKA! LO COWOK PALING TEGA. LO… GUE SAYANG DAN CINTA BANGET SAMA LO, DAN LO HARUS TAU ITU, HUH!” teriakku sekaras mungkis, berharap rasa sesak yang mengganjal di dalam dadaku menghilang.
Aku jatuh terduduk di atas pasir basah sambil menangis terisak. Cakka keterlaluan. Ia benar-benar keterlaluan. Dengan gontai aku bangkit berdiri dan kembali membereskan beberapa kertas dan foto yang berserakkan di pasir. Sehelai kertas terbang begitu saja dan aku hanya mampu menatapnya sampai kertas itu mendarat di atas sebuah karang dengan posisi terbuka.
Pelan-pelan sambil membeluk box kotak tersebut kulangkahkan kakiku mendekati karang tersebut. Ombak kembali datang dan menyeret kertas itu hingga berada tepat di bawah kakiku.
Gue sayang banget sama lo. Would you my girlfriend?
Aku hanya mampu terpaku. Menatap kertas itu dengan tatapan sendu sambil kembali menahan suara isakkan yang kembali muncul.
“Gue juga sayang sama lo. Kalau saat ini lo ada di hadapan gue, gue pasti bakal bilang iya,” gumamku lirih.
_FIN_
Taraaaa. Hahaha. Begimana ceritanya? Enjoy read guys? Hoho absurd yah? Maklum lah yah, gue kan penulis gaje. Wkwkwkwk .:D
@Cluvers_Agniaza